Sunday, August 12, 2012

[Rata] Yang Tak Sama


Yang terpikir pertama kali dibenakku ketika mendengar sebuah kata 'rata' adalah sesuatu yang sejajar dan adil, yang sama, entah itu sama tinggi maupun sama rendah. Namun ketika mengetahui bahwa 'rata' yang kutemui ternyata sangat jauh dari yang kubayangkan sebelumnya. Dia rata yang tak tersentuh keadilan, jangankan untuk bisa memperoleh sesuatu atau bagian yang sama, rata yang ini justru jauh dari apa yang kusebut sejajar.

Rata yang ini adalah sosok seorang bapak paruh baya. Dia adalah bekas pekerja rendahan pada sebuah hotel besar 'empat musim'  yang pusatnya ada di Kanada sana. Hotel tersebut kebetulan memiliki 'kaki' lain di desanya. Sebuah desa wisata yang terletak di Kabupaten Gianyar, Bali. 
     
Rata sudah bekerja sejak hotel tersebut pertama kali berdiri di desanya. Karena tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus dan pihak hotel mungkin merasa perlu membangun image baik di desa tempat mereka berada, salah satunya yang paling mudah adalah dengan menggunakan penduduk lokal sana sebagai tenaga kerja. 

Rata yang tak memiliki keahlian khusus pun akhirnya bekerja sebagi petugas kebersihan. Penghasilan yang di dapat sangat jauh dari bayangan. Padahal, Rata harus mengirim sampah hotel ke Tempat Pembuangan Akhir yang ada di daerah Temesi. Jarak dari hotel ke Temesi tidaklah terbilang dekat. Pihak hotel pun seakan tidak mau tahu. Mereka tidak perduli dengan penghasilan Rata. Mereka hanya ingin sampah hotel mereka enyah dari pandangan, bagaimanapun caranya.

Penghasilan yang tak memadai, belum lagi jarak tempuh yang lumayan jauh untuk membuang sampah dan ongkos bensin beserta uang masuk TPA yang tidak ditanggung hotel, membuat Rata akhirnya melakukan berbagai cara untuk mengepaskan penghasilan dan tanggung jawabnya. 
 

Pernah ia harus membuang sampah ke desa terdekat atas permintaan Tetua Desa tersebut agar salah satu sungai mati di desanya di timbun sampah sehingga nantinya membentuk lahan baru. Dengan harus membayar 900rb setahun, sempat ia jalani juga. Namun ia berpikir itu salah dan kemudian dihentikannya. Dan kembali membuang sampahnya ke TPA sebelumnya walaupun toh sama saja, penghasilannya habis setengah untuk bensin dan uang masuk TPA.

Pilihan terakhir akhirnya ia lakukan dengan memilah sampah hotel di rumahnya. Separuhnya ia gunakan untuk pakan ternaknya dan yang tidak bisa diolah lagi akhirnya ia bakar di belakang rumah. Dan ia lakukan secara terus menerus.
 
Masalah kemudian muncul. Rata sakit dan harus beberapa kali ke Rumah Sakit untuk melakukan Rontgen karena mengeluh pusing dan sesak nafas yang kemungkinan adalah kanker karena kebiasaan Rata yang selalu membakar sampah sisa hotel di belakang rumahnya. Pihak hotelpun seakan ingin menggunakan kesempatan ini. Rata dihentikan dari pekerjaannya dengan alasan tidak jelas, padahal ada kontrak yang mengikat antara dia dan pihak hotel. 

Belum selesai sampai disana, anak Rata yang bekerja sebagai teknisi pun akhirnya ikut dipecat. Alasan pemecatannya pun sangat tak masuk akal. Dia dikatakan mencuri aki bekas milik hotel. Padalah jelas-jelas sebelum ia mengambil aki tersebut, ia sudah bertanya dengan pihak hotel dan kepala satpam. Karena ia sempat menggantikan tugas ayahnya untuk mengambil sampah hotel. Dan saat itu aki tersebut dikatakan sudah rusak dan memang akan di buang. Namun ketika perjalanan pulang ia justru di tangkap oleh polisi dan ditahan dengan tuduhan mencuri aki bekas hotel. Dan hotel justru lepas tangan dalam kasus anak Rata.

Ternak babi pun habis di jual untuk membayar biaya pengobatan dan untuk mengeluarkan anak Rata dari tahanan. Istri Rata yang akhirnya tidak sanggup lagi menahan beban keluarga pun akhirnya memilih pergi meninggalkan Rata dan keluarga.

Saat cerita ini selesai di ceritakan Rata, aku terdiam dalam waktu yang sangat lama. Rasa kemanusiaanku tergugah saat aku melihat Rata. Bukan karena aku kasihan. Mungkin Rata pun tidak ingin di kasihani. Karena kasihan cenderung membersitkan sebuah keangkuhan. Aku tergugah, karena aku melihat ketidakadilan disini. Di saat Bali di agung-agungkan sebagai daerah pariwisata, saat semua investor dan orang-orang yang diuntungkan dari kue-kue pariwisata berpesta pora saling sikat dan saling sikut untuk membagi kue-kue pariwisata tersebut, adakah Rata mendapat sedikit saja kesempatan untuk mencicipi rasa dari potongan 'kue' pariwisata itu?

Mungkin saja tidak dan mungkin saja tidak untuk selamanya. Rata bisa jadi hanya secuil kisah manusia yang termarginalkan dari gembar-gembor dan kemewahan pariwisata yang ditawarkan untuk memenuhi hasrat borjuasi golongan kelas atas. Dan mungkin saja, Rata yang kutemui ini hanya satu dari Rata-Rata lainnya yang juga memiliki nasib serupa. 


No comments:

Post a Comment