Tuesday, February 21, 2012

EKSISTENSI KELOMPOK REMAJA BERBASIS KEKERASAN


Beredarnya video kekerasan geng motor remaja putri di Bali beberapa waktu lalu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Hal ini dikarenakan dalam video yang berdurasi 5 menit 36 detik tersebut secara jelas dan gamblang memperlihatkan adegan kekerasan hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa remaja putri, dengan jalan menggunting baju salah seorang rekan se-geng-nya yang dituduh berkhianat hingga nyaris telanjang. Dengan penampilan layaknya artis remaja di sinetron-sinetron televisi, sepertinya mereka tanpa rasa empati memukuli, menjambak hingga menendang temannya sendiri. Setting tempatnya pun dipilih sedemikian rupa yakni pojokan sebuah lahan kosong kosong lengkap dengan coretan-coretan dinding mirip dalam film-film gangster ala Holywood.
Sebenarnya trend menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang cenderung mengedepankan maskulinitas bukanlah hal baru di tengah masyarakat Bali. Sebut saja munculnya berbagai kelompok pemuda berbadan kekar lengkap dengan banner-banner yang menunjukkan eksistensi diri dan kelompoknya. Sepertinya lebih mudah menemukan pemuda Bali yang bergabung dalam salah satu kelompok pemuda tersebut ketimbang dengan menemukan pemuda Bali aktif di ruang-ruang diskusi yang lebih mengedepankan intelektualitas. Mungkin membesarkan otot jauh lebih mudah daripada menempa otak.
Menariknya dalam kasus video kekerasan ini, pelakunya bukanlah pemuda berbadan kekar tetapi sekelompok remaja putri. Menyimak kasus ini ada pelajaran penting yang bisa kita petik bersama. Beberapa hal yang penting untuk dipertimbangkan adalah aspek psikologis remaja, hukum, pendidikan dan perspektif feminisme. Oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk melihat kasus tersebut menggunakan kerangka analisis aspek-aspek tersebut diatas.
Dari aspek psikologis remaja usia belasan tahun cenderung ingin menunjukkan jati dirinya kepada orang lain dengan berbagai cara. Hal ini dapat dilihat mulai dari cara mereka berpenampilan hingga model relasi diantara mereka. Dalam cara berpenampilan misalnya cenderung menggunakan seragam yang memuat atribut-atribut geng. Jadi dengan demikian setiap anggota geng diwajibkan untuk membeli seragam tersebut. Hal inilah yang disinyalir menjadi salah satu pokok masalah dalam kasus kekerasan tersebut dimana si korban belum melunasi pembelian atribut geng dan disamping itu ia juga menggunakan atribut geng sebagai keset di rumahnya. Hal ini dianggap melecehkan simbol soliditas dan eksistensi kelompok. Dalam hal model relasi, kelompok ini cenderung tunduk pada model hierarki yang bersifat rigid (mirip asas kesatuan komando dalam militer) dimana seorang ketua geng diberikan justifikasi untuk melakukan tindakan apa saja dalam mempertahankan eksistensi kelompok.
Dari sudut pandang perempuan melihat kasus tersebut sebagai bentuk pergeseran nilai-nilai feminimisme menjadi pengagungan maskulinitas. Yang dimaksud feminimisme dalam hal ini adalah nilai-nilai empati, penuh kasih dan kepedulian terhadap sesama yang secara gender diharapkan dimiliki oleh perempuan. Sedangkan maskulinitas lebih menonjolkan karakter-karakter yang keras dan macho. Pergeseran nilai ini dapat dilihat mulai dari nama geng motor tersebut, yakni Cewek Macho Perfomance (CMP). Sepertinya mereka menggandrungi karakter ke-laki-laki-an sebagai karakter dari kelompok. Terlebih lagi mereka tergabung dalam suatu geng motor yang selama ini identik dengan kaum laki-laki. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam satu individu pasti memiliki dua nilai diatas, namun dalam kasus ini jelas bahwa ada over maskulinitas yang coba ditonjolkan oleh para remaja putri ini.
Dari segi hukum mungkin akan terjadi perdebatan apakah harus dikenakan sanksi pidana umum yakni penganiayaan atau dikembalikan pada konteks kenakalan remaja. Hal ini mengingat usia pelaku dalam video tersebut masih tergolong anak di bawah umur. Jika dijerat dengan pidana umum, banyak orang akan berpendapat bahwa langkah tersebut dapat memberikan efek jera, namun tidak berusaha untuk melihat dari aspek psikologis anak mengingat usia mereka yang masih sangat muda dan memiliki potensi untuk bisa berubah. Sedangkan jika hanya dianggap sebagai kenakalan remaja, maka akan menumbuh suburkan kekerasan di kalangan geng motor yang faktanya banyak beranggotakan para remaja. Pada titik inilah tanggung jawab negara ditantang untuk berperan dalam membina remaja yang tidak mendapat perhatian di lingkungan keluarganya.
Jika benar berita di media yang menyatakan mereka tidak bersekolah, hal ini merupakan tamparan bagi dunia pendidikan. Seorang anak usia sekolah yang seharusnya sedang mengenyam pendidikan demi meraih masa depan justru berkeliaran di jalan dengan ugal-ugalan. Dapat saja mereka berargumentasi untuk tidak bersekolah karena urusan ekonomi, hal ini nampak masuk akal mengingat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Namun sayangnya alasan ini akan terbantah oleh sebuah fakta bahwa mereka memiliki sepeda motor dan berpenampilan modis. Jika memang mereka tidak bersekolah karena dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu nakal, nampaknya dunia pendidikan kita belum berhasil mendidik dan menjadikan anak nakal menemukan ruang-ruang mereka untuk berkreatifitas dan mengembangkan bakat-bakatnya. Atau mungkin justru dunia pendidikan yang membuat mereka nakal karena metode pengajaran yang membosankan berikut beban studi yang berlebihan hingga membuat mereka berontak.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fenomena kekerasan yang ditonjolkan dalam kasus ini sebenarnya mengandung kompleksitas. Dimana berbagai dimensi harus kita lihat sebagai aspek yang berhubungan satu sama lain yang mengkondisikan keagresifan para remaja kita saat ini. Oleh karena itu solusi yang terintegrasi mulai dari aspek psikologis, hukum, pendidikan dan budaya mutlak dibutuhkan guna mencegah perilaku-perilaku agresif dan destruktif seperti yang telah terjadi agar tidak terulang kembali. Disisi lain, keluarga yang menjadi entitas terdekat dan yang seharusnya paling mengetahui perkembangan anak sudah semestinya memberikan pengertian dan melakukan pendampingan terhadap anak termasuk juga dalam hal menonton siaran televisi berupa sinetron dan film-film yang dipenuhi oleh adegan kekerasan. Bagi anak-anak yang tidak menemukan kenyamanan dalam keluarga, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam membina dengan jalan mengefektifkan program-program pengembangan kreatifitas remaja guna menjadi wadah penyaluran energi kreatif dan agresifitas.