Wednesday, December 21, 2011

Perempuan-Perempuan Perkasa Sebuah Tempat Bernama Taman 65

Kuhabiskan segelas air putih segera sebelum aku beranjak meninggalkan rumah. Pagi di akhir bulan  Juni membuatku sedikit bersemangat entah karena apa, karena kurasa tidak ada salahnya jika coba ku bangun sedikit mood baik di pagi hari sebelum memulai aktivitas di luar rumah. Tidak banyak yang akan aku kerjakan hari ini. Hanya mengurusi beberapa hal teknis di kampus. Maklum, aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak memiliki jadwal kuliah lagi, jadi aku memiliki lebih banyak waktu luang yang coba kuiisi dengan aktif di sebuah sanggar dan komunitas.

Berbicara komunitas, masih segar di kepala mengenai diskusi beberapa teman baru di komunitas tempat aku sering habiskan waktu belakangan ini. Bukan diskusi besar memang, hanya beberapa penghuni tetap komunitas tersebut yang coba membahas apa saja yang menarik di luaran sana dan tentunya menjadi sesuatu yang tidak tabu untuk dibicarakan.  Diskusi semalam dimulai dengan politisasi ritual di bali yang kian marak dimana seorang dari mereka dengan menggebu-gebu berbicara mengenai dampak ritual tersebut bagi kaum perempuan dan menggebu-gebu pula dalam diskusi berikutnya mengenai kerangka berpikir perempuan Bali yang sulit untuk diajak kritis apalagi untuk melakukan perlawanan yang ada dalam keluarganya. Akupun hanya manggut-manggut mendengar diskusi yang tampaknya tidak akan berhenti pada satu pemikiran final, sambil sesekali kulihat botol air mineral ‘fiktif’ yang masih setengah terisi arak. ‘‘Belum habis juga rupanya,’’ kata yang terlintas di benakku saat itu dan aku dengan demikian aku tahu bahwa diskusi masih akan berlangsung lama.

Aku memang belum lama berada dalam komunitas tersebut. Komunitas heterogen yang terdiri dari berbagai tingkah polah manusia dengan kelebihannya masing-masing dan sudah barang tentu jumlah perempuan yang tidak sebanyak laki-laki. Mungkin karena stereotype yang berkembang bahwa perempuan yang masuk dalam suatu komunitas tidak lain hanya untuk mencari pasangan dengan tingkat intelektualitas tertentu karena di alam bawah sadar mereka mungkin masih meletakkan urusan intelektualitas pada domain laki-laki. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh keberadaan ibu-ibu di komunitas tersebut yang dilibatkan dalam kegiatan semata-mata untuk hal-hal remeh sebut saja menghaturkan sesajen dan menyiapkan konsumsi bagi para tamu yang hadir dalam setiap acara yang digelar di komunitas tersebut. Pengalaman di ruang kecil ini kemudian menyebabkan para pegiat laki-laki melakukan generalisasi bahwa  peran perempuan di luaran sana tidak jauh berbeda dengan peran para ibu-ibu di komunitas tersebut.

*****

Senja itu, suasana cukup ramai dengan beberapa pelajar asing yang sedang mengikuti beberapa program yang diadakan oleh komunitas tersebut. Para lelaki tampak lebih antusias ketimbang wanita. Wajar saja, sekali lagi karena jumlah yang tak sebanding dan kebanyakan pelajar tersebut juga wanita. Senja berganti malam, satu persatu pegiat komunitas mulai berdatangan, berkumpul melingkar mengelilingi ubin dengan batu sikat yang ditata sedemikian rupa membentuk angka 65. Petikan senar gitar mulai terdengar membentuk rangkaian nada bersanding dengan suara gelak tawa para pelajar dan mereka yang memiliki kemampuan bermusik pun mulai beraksi. Di sisi lain lingkaran tersebut tampak juga beberapa raut serius para pelajar mendengar diskusi yang cukup menarik dari para pegiat komunitas yang tentunya coba dijelaskan dalam bahasa asing. Aku menikmati keduanya. Sesekali aku menyimak diskusi mereka dan sesekali aku ikut berdendang kecil ketika mereka memainkan lagu yang tidak asing di telingaku.

“Orang Bali sekarang gila akan ritual!” begitu kata seorang dari mereka. “Sedikit-sedikit ritual dan memakan waktu yang tidak sebentar, dan kaum perempuan sering jadi korban karena mereka harus ngayah berhari-hari,” sambung seorang lainnya. Ritual sekarang menjadi komoditi baru untuk diperjualbelikan pada turis, belum lagi dampak media lokal yang menyiarkan berbagai macam ritual dengan tingkatan yang paling tinggi, sehingga timbul persaingan dalam masyarakat untuk berlomba-lomba membuat ritual dengan harapan bisa masuk TV.

“Kasihan para perempuan, belum selesai dengan urusan tetek bengek ritual, dirumah juga harus berhadapan dengan berbagai persoalan lain. Sebut saja suami yang suka semaunya atau berurusan dengan mertua dan bla..bla..bla..” sambung yang lainnya lagi. Betapa sulitnya menjadi perempuan Bali di tengah sistem patriarki yang masih bercokol di benak setiap laki-laki Bali pada umumnya dan dilanggengkan oleh persetujuan pasif kaum perempuan.

*****

Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi begitu saja, melainkan karena sistem yang menginginkan hal itu terjadi. Penindasan terhadap kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Dimana hal ini disebabkan adanya sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peranan kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang ditindas. Penindasan itu bukan saja berasal dari kategori seksual laki-perempuan saja. Kategori biologis ini dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal tersebut. Sebagai contoh, sistem pertanian di Bali. Dahulunya peran antara laki-laki dan perempuan seimbang. Dimana perempuan dibutuhkan dalam proses bertani untuk mengerjakan pembersihan lahan pertanian dari gulma yang dikenal dengan istilah mejukut, dan setelah padi layak untuk di panen pun peran perempuan masih tetap dibutuhkan dimana kemudian munculah istilah sekeha manyi dan sekeha nebuk. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi pertanian, keberadaan sekeha-sekeha tersebut mulai tergantikan dengan alat-alat yang lebih canggih. Untuk menyingkikan gulma sekarang muncul terobosan baru dengan pestisida yang tidak hanya menghilangkan peran kaum perempuan yang dulunya bertugas untuk itu, tapi juga merubah system rantai makanan. Perempuan kini terpaksa hanya berdiam dirumah mengerjakan pekerjaan rumah dan menanti para suami pulang dengan membawa hasil. Yang lama-kelamaan menimbulkan adanya hierarki antara perempuan dan laki-laki. Dimana keadaan ini membuat para perempuan yang dulunya aktif dalam proses pertanian menjadi ketergantungan dengan kaum laki-laki.

Bentuk lain dari marginalisasi perempuan adalah hukum yang ada di Indonesia dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi laki-laki daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti seperti ini justru membenarkan hierarki antara laki-laki dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Sebut saja UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat 3: “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Kemudian dalam Pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa suami wajib mencari uang demi kelangsungan perekonomian rumah tangganya:“suami wajib… memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Sedangkan Pasal 34 ayat 2 mengatur kewajiban isteri untuk mengurus rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberi kesempatan kepada isteri untuk mencapai kemandirian ekonomis. Bila kemandirian ekonomis saja tidak tercapai, maka dapat diragukan pula isteri akan memiliki kemandirian psikologis dan politis dari suaminya. Dan sekali lagi sistem hukum pun membuat isteri (kaum perempuan) menjadi sangat tergantung pada suaminya (kaum laki-laki).

********

Perempuan bukanlah bagian dari masyarakat terbuang dan bukan pula kaum tanpa eksistensi dan tak berarti. Bagaimanapun juga kehadiran perempuan memberikan warna tersendiri di tengah dominasi kaum laki-laki dan hegemoni melalui negara dan agama yang melegalkan diskriminasi gender terhadap kaum perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan menghadapi ketertindasan akibat hidup dalam tatanan patriarkhi bahkan sampai hari inipun masih banyak ditemukan kasus yang korbannya rata-rata perempuan. Namun tidak bisa dipungkiri jika sejarah juga menorehkan catatan penting tentang perjuangan kaum perempuan melawan ketertindasan. Masih teringat ketika para aktivis sosialis utopis mencetuskan feminisme generasi pertama hingga membuat seorang Mary Wollstonecraft di tahun 1792 berhasil membuat sebuah karya berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) oleh yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Bukankah bisa dilihat betapa dia bisa memiliki pemikiran bahwa perempuan secara alam tidak lebih rendah dibanding laki-laki, tetapi justru melihat mereka hanya memiliki lebih sedikit pendidikan. Dewasa ini ketika kesempatan bagi perempuan untuk menikmati pendidikan sama dengan kesempatan yang dimiliki laki-laki, namun tetap saja ada penilian bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki. Mungkin saja hal ini tidak hanya melulu urusan tingkat pendidikan tapi juga bagian dari psikologis tidak hanya kaum laki-laki namun juga perempuan yang di alam bawah sadarnya masih terdapat pemikiran-pemikiran konservatif mengenai bagaimana menjadi “pelayan” yang baik bagi laki-laki.

Dalam sebuah komunitas bernama Taman 65, aku menemukan perempuan-perempuan “perkasa” yang mencoba mendobrak pandangan-pandangan konservatif bahwa perempuan harus selalu di bawah laki-laki dan mengayomi laki-laki, bukan pula  feminisme radikal yang anti terhadap laki-laki melainkan mencoba membuat laki-laki agar mau mengerti keadaan perempuan dan memberikan hak kepada perempuan untuk memutuskan serta dan mencoba  mengadakan penyegaran bahwa perempuan adalah personhood–manusia secara utuh, bukan “mainan atau lonceng laki-laki” atau sekadar alat/instrumen untuk kebahagiaan dan kesempurnaan orang lain, seperti yang juga coba dituliskan oleh Mary Wollstonecraft. 

Aku cukup menyadari untuk mengkaji perempuan tidaklah bisa dilihat dari satu sudut pandang mengingat keadaan geografis, sosial dan budaya yang majemuk. Namun seperti para feminism radikal meyakini bahwa setiap individu memiliki hak untuk bertanya how ought I to live and how ought I to know what’s right and what’s wrong? Bahwa setiap manusia berhak untuk menentukan bagaimana dia harus hidup dan bagaiamana dia menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi kehidupannya sendiri.

Begitu juga aku melihat perempuan-perempuan “perkasa” ini dalam lingkup Taman 65. Mereka sedikit tidaknya telah berhasil melakukan penyegaran ditengah pandangan skeptik para laki-laki yang juga ada dalam lingkup sama. Aku hanya ingin meminjam beberapa bait tulisan Emma Goldman: “The higher mental development of woman, the less possible it is for her to meet a congenial male who will see in her, not only sex, but also the human being, the friend, the comrade and strong individuality, who cannot and ought not lose a single trait of her character.”

Sunday, November 6, 2011

Penerapan CSR Terhadap Hotel Berbentuk PT di Bali

CSR merupakan sebuah konsep yang sampai hari ini masih menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademis maupun di dunia bisnis. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan pandangan antara para penganut teori ekonomi klasik sebangsa Adam Smith yang berpandangan bahwa perusahaan semata-mata hanya bertugas untuk mencari keuntungan. pendapat ini juga diperkuat oleh Milton Friedman, bapak dari neo-liberalisme. Pada tahun 1962, Milton Friedman dalam bukunya yang berjudul: Capitalism and Freedom dan salah satu tulisannya dalam The New York Times Magazine (September 1970) pada intinya berpendapat, bahwa satu-satunya tujuan dari social responsibility perusahaan adalah memaksimalkan pendapatan dan kekayaan perusahaan bagi para pemegang sahamnya. Berawal dari pendapat Friedman inilah akhirnya banyak perusahaan yang bersikap anti sosial dan dalam banyak hal melakukan praktik yang eksploitatif terhadap pekerja dan lingkungan hidup dengan tujuan semata-mata untuk mengakumulasikan keuntungan dan menyebabkan terjadinya praktik pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Hal ini tentunya menimbulkan respon dari para penganut teori ekonomi modern sebangsa John Elkington yang muncul dengan Triple Bottom Line Theory nya, bahwa perusahaan di dalam menjalankan kegiatan usahanya selain bertujuan mencari keuntungan, juga harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang dikenal dengan "3P" (Profit, People and Planet).

Pembahasan menganai CSR pun tidak berhenti sampai disana. Hal ini bisa dilihat dari konferensi-konferensi Internasional yang mulai membahas dan coba menyempurnakan konsep CSR itu sendiri. Dimulai dari dekade 1980 - 1990 dengan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, kemudian berlanjut tahun 2002 dengan pertemuan internasional di Johannesburg yang memunculkan konsep social responsibility untuk melengkapi dua konsep sebelumnya mengenai economic growth dan environmental sustainability. Kemudian di tahun 2007 sebuah pertemuan internasional yang diadakan di Jenewa dengan tema UN Global Compact berusaha menyempurnakan konsep sebelumnya menjadi sebuah konsep yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility

Selanjutnya bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri konsep mengenai CSR ini diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Namun jika kita perhatikan secara seksama, terdapat perbedaan prinsip yang diatur dalam kedua UU ini. Sebut saja UUPM dalam penjelasan Pasal 15 disebutkan: "Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat". Tanggung jawab dalam hal ini bermakna bahwa perusahaan secara sadar maupun tidak terikat dan harus melaksanakan CSR. sedangkan pada penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPT disebutkan: "Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya". Komitmen perseroan setidaknya membutuhkan kesadaran terlebih dahulu dari perusahaan untuk melaksanakan CSR. Maka tidak heran jika sampai hari ini CSR ini masih menjadi sebuah perdebatan di kalangan dunia usaha untuk menjalankannya walaupun tidak sedikit juga perusahaan yang mulai melaksanakannya karena merasa CSR memang penting karena terkait dengan image perusahaan di masyarakat.

Bagaimana dengan sektor pariwisata khususnya perhotelan? Perkembangan konsep ini di sektor pariwisata tidak berjalan sepesat di sektor bisnis yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, misalnya pertambangan. Bidang jasa perhotelan jika dilihat dalam penjelasan Pasal 74 UUPT bukan sebagai kegiatan usaha yang memanfaatkan sumber daya alam namun dapat ditafsirkan sebagai kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal ini seakan-akan membuat hotel menjadi tidak terlalu urgent untuk melaksanakan CSR. Jika perusahaan pertambangan jelas harus melaksanakan CSR karena mereka menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas untuk diperjual belikan. Namun bagaimana dengan hotel? memang hotel tidak menggunakan sumber daya alam untuk komoditas. Namun pernahkah kita sadari bahwa hotel menggunakan air di dalam menjalankan usahanya. Walaupun air hanya digunakan sebagai pelengkap pelayanan (leisure) bagi para tamu yang menginap.

Di Bali misalnya, cukup jarang ditemukan perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Namun Bali sebagai tujuan pariwisata mendorong semakin banyaknya investasi untuk pembangunan sarana penunjang pariwisata dalam bentuk hotel, lapangan golf, resort dan sebagainya. Jika ditelaah lebih jauh, kegiatan usaha yang memerlukan pasokan air bersih dalam jumlah besar tersebut berdampak pada pasokan sumber daya alam (air) bagi masyarakat lokal, dan perubahan fungsi lingkungan hidup misalnya alih fungsi hutan atau lahan produktif untuk hotel atau villa.

Sebagaimana disampaikan oleh Agung Wardana dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali, hotel yang memiliki kolam renang dan lapangan golf di Bali memerlukan sedikitnya 3 juta liter air per hari sedangkan sebuah keluarga dalam satu rumah di Bali hanya memerlukan sedikitnya 200 liter air per hari, dan kamar hotel membutuhkan 2000 liter per hari per kamar.[1] Belum lagi pengembangan pariwisata mewah di Bali telah mengakibatkan kenaikan pajak yang cukup tinggi dan memaksa petani untuk menjual tanah mereka hingga 1000 hektar.[2] Lahan pertanian produktif di konversi ke tujuan non-pertanian termasuk hotel dan lapangan golf setiap tahunnya.[3]

Menurut laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup, Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisist air sebanyak 1,5 milyar m3 per tahun. Defisit tersebut terus meningkat di tahun 2000 hingga 7,5 milyar m3 per tahun[4], dan pada tahun 2015 mendatang, Bali diperkirakan akan mengalami defisit air sebanyak 27,6 milyar m3 per tahun.[5]

Meski Pasal 74 UUPT mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan CSR, secara umum hotel-hotel menafsirkan belum ada kewajiban untuk melaksanakan CSR sampai adanya prosedur dan kriteria CSR yang jelas dan mengikat secara hukum karena seperti yang kita ketahui UUPT belum memberikan kriteria yang tegas mengenai CSR di bidang jasa perhotelan sebagai kegiatan yang berdampak pada fungsi kelangsungan sumber daya alam. Pengelolaan CSR sendiri di bidang jasa perhotelan masih berada di bawah Human Resource Department. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kebutuhan untuk membentuk unit khusus yang menangani CSR meskipun beberapa hotel menganggap bahwa CSR telah menjadi nilai dasar dalam operasional bisnis mereka dan telah melaksanakannya secara sukarela jauh sebelum UUPT mengaturnya walaupun dengan sebutan berbeda.

Sebagai sebuah kegiatan yang berdampak pada fungsi sumber daya alam, menurut UUPT, CSR dapat dikatakan wajib dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan. Namun UUPT tidak menyebutkan dengan tegas akibat hukum yang timbul apabila sebuah hotel tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatas. UUPT hanya merujuk pada peraturan yang terkait dengan bidang usaha dari perusahaan dimaksud. Secara lex specialis, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan merupakan peraturan terkait dengan usaha perhotelan dan UU ini mewajibkan pelaku usaha pariwisata untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (pasal 26). Adapun bagi pelaku usaha pariwisata yang tidak melakukannya akan dapat berakibat pada penjatuhan sanksi administratif mulai dari teguran hingga penghentian sementara kegiatan usaha (pasal 63). Namun tidak dirinci lebih jauh mengenai prosedur dan kriteria penjatuhan sanksi tersebut dan institusi mana yang memiliki kewenangan untuk itu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa belum adanya kejelasan kriteria mengenai bentuk-bentuk usaha yang wajib melaksanakan CSR dalam UUPT dan kewajiban untuk melaksanakan CSR dalam Pasal 74  UUPT tidak memiliki akibat hukum yang jelas bagi kegiatan usaha khususnya perhotelan karena UUPT hanya merujuk pada ketentuan terkait dan belum tersedianya PP. Oleh karena itu perlu adanya kesatuan pengaturan yang jelas terkait mengenai CSR agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap stakeholder terperinci dengan jelas. Kemudia untuk menciptakan kepastian hukum, perlu disusun Peraturan Pemerintah yang mengatur kriteria tata cara penilaian tentang pelaksanaan CSR hingga prosedur penjatuhan sanksi akibat dari adanya pelanggaran terhadap kewajiban (compliance mechanism) selain diadakannya optimalisasi institusi pemerintah yang telah ada dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan CSR.


[1]  http://www.tourismconcern.org.uk/golf.html, di akses pada Tanggal 24 Oktober 2011.
[2]  Ibid.
[3]  Ibid.
                [4]   http://www.inwater.com/news/wmview.php?ArtID=900
            [5]   Ibid

Tuesday, March 15, 2011

Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pasar Modal



I.            Pentingnya GCG Dalam Pasar Modal
A.    Pengertian dan Konsep Dasar
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003). Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respon lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
 Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Sebagai sebuah konsep GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. 
Center for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG, papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholders, bukan terbatas kepada shareholders saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholders menerima informasi yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu  fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.

B.     Prinsip GCG
Penerapan corporate governance di pasar modal bertujuan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan, meningkatkan citra atau reputasi perusahaan, serta meningkatkan kemakmuran seluruh stakeholders. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut   :
  1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.

  1. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

  1. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.

  1. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

  1. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.

Pasar modal berkembang baik jika penerapan GCG-nya konsisten. Corporate governance bukan hanya sebagai aksesoris, tetapi melekat sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu  struktur kepemilikan, hukum dan enforcement, sistem ekonomi, sosial, budaya, proses, serta ukuran.
Ada dua paradigma corporate governance, yaitu shareholding dan stakeholding kinerja yang jelas. Paradigma pertama punya ciri individual liberty yang tujuannya hanya memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Paradigma kedua berciri justice for all yang bertujuan mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholders dalam perusahaan. Selain pemegang saham, karyawan, konsumen,  pemerintah, dan masyarakat.
Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

II.            Hubungan GCG Dengan Perlindungan Investor Publik
Dari konsep GCG yang telah dijabarkan sebelumnya diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan  bahwa Good Corporate Governance merupakan: 
1.      Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2.      Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3.      Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. 
 Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni; 
1.      Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut (keseimbangan internal)
2.      Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara perusahaan dengan stakeholders (keseimbangan eksternal). Di antaranya, tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
3.      Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
4.      Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading). 
Berfasarkan penjelesan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan GCG. Implementasi GCG dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepentingan investor, terutam para pemegang saham di perusahaan-perusahaan terbuka. Di samping itu, implementasi GCG akan mendorong
tumbuhnya mekanisme check and balance di lingkungan manajemen khususnya dalam
member perhatian kepada kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait dengan peran pemegang saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris dan direksi, dan dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping pelindungan investor, regulasi mewajibkan sistem yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis antar perusahaan dalam satu grup yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Semangat untuk memperoleh persetujuan publik dalam transaksi, merupakan bentuk penerapan prinsip akuntabilitas.
III.            Hubungan Antara Konsep CSR dengan GCG
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan (trend) meningkatnya tuntutan publik atas transparansi dan akuntabilitas baik dalam pasar modal maupun perusahaan sebagai wujud implementasi good corporate governance (GCG). Salah satu implementasi GCG adalah melalui penerapan corporate social responsibility (CSR).
CSR menurut World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.
Salah satu prinsip GCG adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan.
Pertama, perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja. Ketiga, masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.
Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup (sustainable environtment responsibility).
Dalam era reformasi yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keterbukaan, seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin meningkat. Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian sosial dengan lingkungan sekitarnya akan banyak menemui berbagai kendala, misalnya sering didemo oleh masyarakat, bahkan ada perusahaan yang terpaksa ditutup oleh pihak yang berwenang.
Kita selama ini hanya mengenal audit keuangan (financial audit) saja, namun suatu saat nanti bisa muncul suatu audit sosial (social audit). Yang mulai berkembang saat ini adalah audit lingkungan (environtment audit). Paradigma baru perusahaan yang dianggap tumbuh & berkelanjutan (growth & sustainable company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun juga diukur dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap komunitas lokal, masyarakat luas maupun lingkungan hidup.
Berkenaan dengan hal tersebut, muncul triple bottom line model, yang terdiri dari profit, people & planet (3 P). Laporan suatu perusahaan yang menggunakan model triple bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga melaporkan aspek kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Beberapa waktu yang lalu telah diperkenalkan sustainable reporting, yaitu suatu laporan yang bersifat non-finansial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Global Reporting Initiative & Value Reporting telah mengeluarkan pedoman yang disebut Sustainable Reporting Guidelines. New York Stock Exchange di Amerika Serikat telah memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) sejak tahun 1999, yang telah memasukkan nilai corporate sustainability untuk saham-saham perusahaan dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Inggris melalui London Stock Exchange (LSE) memiliki Socially Responsible Investment Index (SRI Index). Hanseng Stock Exchange (HSE) dan Singapore Stock Exchange (SSE) saat ini juga mulai berinisiatif untuk mengikuti trend di atas. Adanya kecenderungan tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing untuk memilih menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menerapkan CSR dengan baik.


Discussion Task
*        Apakah menurut saudara Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) penting diterapkan dalam kegiatan Pasar Modal ?
Jawab :                      
Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) sangat penting diterapkan dalam kegiatan Pasar Modal karena Indonesia saat ini tengah memasuki globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang merupakan trend dan perkembangan terpenting saat ini. Persoalan bisnis tidak semata-mata lepas dari situasi dan tanggung jawab kepada masyarakat sekitar. Untuk itu diperlukan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) sebagai suatu kepercayaan bagi dunia usaha kita untuk kembali menata kehidupan bisnisnya menjadi lebih baik. Corporate Governance adalah mekanisne bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan menurut aturan “hak” dan “kuasa”. Pelaksanaan Good Corporate Governance          ( GCG ) adalah dianggap sebagai hal yang baik untuk membangun kepercayaan antara pihak manajemen dan penanam modal beserta krediturnya, sehingga pemasukan modal bisa terjadi kembali, yang pada giliranya dapat membantu proses pemulihan ekonomi Indonesia. Corporate Governance merupakan “proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas  perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai tambah pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder yang lain”
*        Apakah hubungan antara Good Corporate Governance ( GCG ) dengan perlindungan Investor Publik ?
Jawab :
Good Corporate Governance ( GCG ) memiliki hubungan dengan perlindungan Investor Publik hal ini di dasarkan pad ide dasar yang muncul dari Good Corporate Governance (GCG) ini adalah untuk memisahkan fungsi dan kepentingan diantara para pihak ( stakeholder ) dalam suatu perusahaan, yaitu pihak yang menyediakan modal atau pemegang saham, pengawas, dan pelaksana sehari-hari usaha perusahaan dan masyarakat luas. Dengan pemisahaan tersebut perusahaan akan lebih efisien. Dalam perkembangan Corporate Governance ( CG ) dijadikan aturan atau standar di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direksi, manager dengan merinci tugas dan wewenang serta pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Corporate Governance ( CG ) mengandung prinsip-prinsip yang melindungi kepentingan perusahaan, pemegang saham, manajemen, board of directors, dan investor publik, serta pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah melalui penerapan fairness, transparency, accountability, dan respontability. Jadi pada pemaparan tersebut jelas bahwa Good Corporate Governance (GCG) mengandung prinsip-prinsip yang memberikan perlindungan bagi investor publik untuk melakukan kegiatan investasinya yaitu baik investasi dalam surat kepemilikan (saham) dan investasi dalam surat utang (obligasi).
*        Apakah  Corporate Social Responsibility ( CSR ) berhubungan dengan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) ?
Jawab :
Corporate Social Responsibility ( CSR ) berhubungan dengan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) dimana Salah satu implementasi Good Corporate Governance ( GCG ) di perusahaan adalah penerapan corporate social responsibility (CSR). Dalam era globalisasi kesadaran akan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi penting seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat terhadap produk (barang) yang ramah lingkungan. Corporate Social Responsibility ( CSR) menurut World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Sustainable Economic Development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan Corporate Social Responsibility ( CSR ) sebagai akuntabilitas publik. Salah satu prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan yaitu :
1.        Perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan.
2.        Dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja.
3.        Masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.
Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility         (CSR) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup Sustainable Environtment Responsibility. Jadi salah satu tanggung jawab (responsibility) yang terdapat pada prinsip Good Corporate Governance (GCG) adalah tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR).




IDE DAN KONSEP EKONOMI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TRANSFORMASI IDEOLOGI

I.            MERKANTILISME
Sebagai pola pikir paham merkantilisme merupakan suatu sistematika yang cukup menyeluruh dan mencerminkan dasar intelektual yang dianut pada periode 1500 hingga 1750. Pola pikir tersebut menyatukan persepsi politik dan ekonomi yang dominan di Eropa. Karena Eropa merupakan kekuatan ekonomi dan militer yang dominan pada waktu itu maka paham tersebut secara praktis diterapkan diseluruh dunia.
·         Konsep Ekonomi Merkantilisme
a.       Persepsi Statis Tentang Potensi Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Daloam paham merkantilisme, kekayaan dalam dunia ini sifatnya statis. Berdasarkan atas pandangan ini maka ambisi nasional untuk mengembangkan kekayaan akan terbentur oleh keterbatasan kekayaan di dunia. Pada prinsipnya merkantilisme mengandung persepsi bahwa perdagangan adalah kegiatan yang bersifat zero-sum-game. Kemajuan yang dicapai oleh satu pihak dianggap otomatis merupakan kemunduran pihak lain. Dengan demikian maka upaya mencegah kemajun pihak lain merupakan suatu keharusan yang dianggap positif.
b.      Doktrin “State Power”
Pada waktu paham merkantilisme diterapkan di Eropa perkembangan politik yang terpenting adalah upaya menerapkan dan memantapkan pemerintahan nasional di bawah raja. Dengan demikian maka secara kebetulan (accident of history) kegiatan ekonomi dipusatkan kepada upaya untuk meningkatkan kekuatan militer dengan angkatan laut yang kuat dan perkembangan teritorial yang semakin luas.
c.       Regulasi kegiatan Ekonomi
Karena persepsi bahwa kekayaan di dunia sifatnya statis dan hubungan ekonomi antarnegara sifatnya zero-sum-game maka semua kegiatan ekonomi dan perdagangan harus diatur oleh negara secara eksplisit dengan regulasi yang ekstensif untuk semua kegiatan ekonomi.
            Dari ketiga konsep yang telah dijabarkan diatas, maka dapat di simpulkan ciri khas Merkantilisme adalah sebagai beikut:
-        Persepsi statis mengenai pertumbuhan ekonomi
-        Doktrin state power
-        Regulasi kegiatan ekonomi
-        Restriksi dalam perdagangan logam mulia
-        Monopoli dalam perdagangan
-        Regulasi dalam pelayaran
-        Pengembangan teritorial wilayah kolonial

·         Peran Hukum
Berdasarkan hal-hal diatas sebagai dasar konsepsional, maka peranan hukum yang dirumuskan dalam suatu kebijakan yang mencerminkan paham tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Semua kegiatan ekonomi dipusatkan pada tujuan politis tunggal untuk memperkuat kekuatan negara kebangsaan yang baru timbul dibawah kekuasaan raja.
b.      Pemupukan aset untuk membiayai militer darat untuk mengembangkan teritorial.
c.       Pengembangan angkatan laut untuk mengembangkan teritori kolonial di seberang lautan di luar Eropa.
d.      Regulasi dalam kegiatan pelayaran dan armada maritim
e.       Pengmbangan wilayah kolonial untuk kepentingan pemerintah metropole.
f.       Restriksi dalam perdagangan logam mulia.
g.      Monopoli dalam kegiatan perdagangan.
h.      Regulasi dalam kegiatan perdagangan.
i.        Perizinan untuk melaksanakan profesi dan pengembangan keahlian teknis dan ekonomis.


II.            LIBERALISME (ADAM SMITH)
Semakin terlihat kelemahan dari paham merkantilisme maka paham itu semakin ditinggalkan. Sebagai pengganti, paham laissez-faire dan liberalisme semakin memegang peranan dalam sistem perekonomian di Eropa. Paham ini juga merupakan paham yang lengkap dan mencakup seluruh kegiatan ekonomi. Periode perdagngan bebas 1815-1914, diwarnai oleh kekuatan landasan filsafat perdagnagn liberal berdasarkan atas teori keunggulan komparatif dan spesialisasi dimana suatu negara akan mengkhususkan diri pada produksi dan ekspor dimana negara tersebut mempunyai cost yang lebih rendah daripada negara mitra dagangnya.
Terobosan intelektual yang merombak logika dan sistematika pola pikir merkantilisme dan membuka halaman baru dalam pola pikir ekonomi adalah karya Adam Smith, The Wealth of Nations, yang diterbitkan tahun 1776. Adam Smith telah membuka jalan yang memungkinkan pemikiran bahwa spesialisasi dalam perdagangan dapat timbul apabila suatu negara melakukan pemusatan pada bidang di mana negara tersebut memiliki keunggulan absolut atau absolut advantage.
·         Konsep Ekonomi Liberalisme
a.       Perubahan utama yang bersifat fundamental dan yang merupakan landasan yang bertolak belakang dengan merkantilisme adalah peranan utama yang dipegang oleh mekanisme pasar sebagai penggerak dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang rasional dikendalikan oleh suatu “tangan tak terlihat” atau invisible hand yang tak lain adalah kegiatan otonom yang diloaksanakan oleh masing-masing pelaku ekonomi untuk kepentingannya sendiri guna memenuhi penawaran dan permintaan yang otomatis mengendalikan kegiatan yang optimal bagi semua pihak yang melakukan kegiatan ekonomi.
b.      Agar mekanisme pasar ini dapat bergerak sesuai dengan logika permintaan dan penawaran, maka hambatan terhadap kegiatan ekonomi dalam bentuk regulasi dan berbagai jenis larangan yang menimbulkan distorsi pasar harus dihapus.
c.       Kegiatan perdagangan antarbangsa dapat berkembang secara saling menguntungkan, karena perbedaan struktur cost secara alamiah akan menimbulkan spesialisasi bagi masing-masing pihak yang akan memusatkan kegiatan kepada bidang dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif. Dengan kata lain, bila masing-masing negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka setiap negara akan mencapai atau mendekati titik optimal.



·         Peran Hukum
a.       Menghapus segala jenis larangan dalam melakukan kegiatan ekonomi yang diberlakukan pada periode merkantilisme.
b.      Mengadakan penurunan tariff atau bea masuk terhadap impor agar terjadi peningkatan perdagangan antarnegara.
c.       Membuat jaringan yang meningkatkan perdagangan antar semua pihak yang berminat untuk berdagang.
d.      Menerapkan sistem pembayaran untuk mempermudah transaksi dan menentukan nilai tukar yang dapat diterima oleh semua pihak, yang pada waktu itu berarti memilih standar emas.
e.       Membolehkan dan bahkan menganjurkan lalu lintas dan peredaran kapital ke luar maupun kedalam negeri sesuai permintaan dan penawaran.
f.       Memperbolehkan lalu lintas tenaga kerja dan sumber daya manusia.

III.            SOSIALISME
Sosialisme adalah suatu sistem perekonomian yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur tangan pemerintah. Pemerintah masuk ke dalam perekonomian untuk mengatur tata kehidupan perekonomian negara serta jenis-jenis perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas lng, dan lain sebagainya.
Dalam sistem ekonomi sosialisme atau sosialis, mekanisme pasar dalam hal permintaan dan penawaran terhadap harga dan kuantitas masih berlaku. Pemerintah mengatur berbagai hal dalam ekonomi untuk menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat.
·         Konsep Ekonomi Sosialis
a.       Nilai barang ditentukan tidak hanya oleh modal fisik, tetapi juga oleh modal spiritual dan modal mental.
b.      Untuk menciptakan kemakmuran, maka segala potensi alam harus dibagi sama rata, sama rasa.
c.       Individu tidak mempunyai kebebasan untuk memiliki atau apalagi mengakumulasi modal, hal ini dilakukan untuk penyamarataan sehingga tidak ada lagi kelas sosial kaya-miskin, juragan-buruh, pimpinan-karyawan.
d.      Masyarakat dianggap sebagai satu-satunya kenyataan sosial, sedang individu-individu fiksi belaka.
e.       Tidak ada pengakuan atas hak-hak pribadi (individu) dalam sistem sosialis.
f.       Pemerintah bertindak aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga tahap pengawasan.
g.      Alat-alat produksi dan kebijaksanaan ekonomi semuanya diatur oleh negara.
h.      Pola produksi (aset dikuasai masyarakat) melahirkan kesadaran kolektivisme (masyarakat sosialis)
i.        Pola produksi (aset dikuasai individu) melahirkan kesadaran individualisme (masyarakat kapitalis).

·         Peran Hukum
a.       Penghilangan hak privat dan kompetisi
b.      Menjamin setiap orang mendapat perlakuan sederajat
c.       Memperkuat dan melindungi kehidupan komunal
d.      Mewajibkan semua anggota komunitas mengerjakan tugas mereka sebaik-baiknya.
e.       Menjamin hak setiap orang atas pendapatan yang setimpal dengan kemampuannya.
f.       Menjamin hak setiap orang atas pemenuhan kebutuhannya.

IV.            KOMUNISME
Komunisme adalah suatu sistem perekonomian di mana peran pemerintah sebagai pengatur seluruh sumber-sumber kegiatan perekonomian. Setiap orang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi, sehingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh pemerintah. Semua unit bisnis mulai dari yang kecil hingga yang besar dimiliki oleh pemerintah dengan tujuan pemerataan ekonomi dan kebersamaan. Namun tujuan sistem komunis tersebut belum pernah sampai ke tahap yang maju, sehingga banyak negara yang meninggalkan sistem komunisme tersebut.
·         Konsep Ekonomi Komunisme
a.       Komunisme ialah suatu ideologi kaum buruh yang ingin memperbaiki nasibnya melalui suatu revolusi sosial. Komunisme lahir dari kesadaran kaum buruh untuk mengubah nasibnya dari penindasan dan penghisapan kaum Kapitalis melalui revolusi sosial. Komunisme merupakan senjata idiil kaum buruh, dan kaum buruh menjadi senjata materiil komunisme. Di atas kemenangan revolusi sosial maka dapat didirikan pemerintahan Demokrasi Rakyat kemudian berkembang menjadi Diktatur Proletariat yang mempunyai tugas utama memperbaiki nasib kaum buruh dan kaum miskin lainnya. Merupakan paham atau ideologi yang hendak menghapuskan hak milik perseorangan dan menggantikannya dengan hak milik bersama yang dikontrol oleh negera.
b.      Komunisme adalah suatu sistem perekonomian di mana peran pemerintah sebagai pengatur seluruh sumber-sumber kegiatan perekonomian. Setiap orang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi, sehingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh pemerintah. Semua unit bisnis mulai dari yang kecil hingga yang besar dimiliki oleh pemerintah dengan tujuan pemerataan ekonomi dan kebersamaan. Namun tujuan sistem komunis tersebut belum pernah sampai ke tahap yang maju, sehingga banyak negara yang meninggalkan sistem komunisme tersebut.

·         Peran Hukum
a.       Pemilikan alat-alat dan sumber-sumber produksi tanah, mesin-mesin, pabrik-pabrik dan lain-lain dimiliki oleh negara.
b.      Pengambilan keputusan mengenai apa yang akan di produksi, berapa banyak, bagaimana, bilamana, berapa harganya dan lain-lain ditentukan oleh negara.
c.       Penggantian mekanisme pasar dengan perencanaan terpusat. Produksi, distribusi, konsumsi dan alokasi sumber-sumber produksi serta barang-barang dan jasa ditetapkan oleh Negara