Sunday, August 12, 2012

[Rata] Yang Tak Sama


Yang terpikir pertama kali dibenakku ketika mendengar sebuah kata 'rata' adalah sesuatu yang sejajar dan adil, yang sama, entah itu sama tinggi maupun sama rendah. Namun ketika mengetahui bahwa 'rata' yang kutemui ternyata sangat jauh dari yang kubayangkan sebelumnya. Dia rata yang tak tersentuh keadilan, jangankan untuk bisa memperoleh sesuatu atau bagian yang sama, rata yang ini justru jauh dari apa yang kusebut sejajar.

Rata yang ini adalah sosok seorang bapak paruh baya. Dia adalah bekas pekerja rendahan pada sebuah hotel besar 'empat musim'  yang pusatnya ada di Kanada sana. Hotel tersebut kebetulan memiliki 'kaki' lain di desanya. Sebuah desa wisata yang terletak di Kabupaten Gianyar, Bali. 
     
Rata sudah bekerja sejak hotel tersebut pertama kali berdiri di desanya. Karena tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus dan pihak hotel mungkin merasa perlu membangun image baik di desa tempat mereka berada, salah satunya yang paling mudah adalah dengan menggunakan penduduk lokal sana sebagai tenaga kerja. 

Rata yang tak memiliki keahlian khusus pun akhirnya bekerja sebagi petugas kebersihan. Penghasilan yang di dapat sangat jauh dari bayangan. Padahal, Rata harus mengirim sampah hotel ke Tempat Pembuangan Akhir yang ada di daerah Temesi. Jarak dari hotel ke Temesi tidaklah terbilang dekat. Pihak hotel pun seakan tidak mau tahu. Mereka tidak perduli dengan penghasilan Rata. Mereka hanya ingin sampah hotel mereka enyah dari pandangan, bagaimanapun caranya.

Penghasilan yang tak memadai, belum lagi jarak tempuh yang lumayan jauh untuk membuang sampah dan ongkos bensin beserta uang masuk TPA yang tidak ditanggung hotel, membuat Rata akhirnya melakukan berbagai cara untuk mengepaskan penghasilan dan tanggung jawabnya. 
 

Pernah ia harus membuang sampah ke desa terdekat atas permintaan Tetua Desa tersebut agar salah satu sungai mati di desanya di timbun sampah sehingga nantinya membentuk lahan baru. Dengan harus membayar 900rb setahun, sempat ia jalani juga. Namun ia berpikir itu salah dan kemudian dihentikannya. Dan kembali membuang sampahnya ke TPA sebelumnya walaupun toh sama saja, penghasilannya habis setengah untuk bensin dan uang masuk TPA.

Pilihan terakhir akhirnya ia lakukan dengan memilah sampah hotel di rumahnya. Separuhnya ia gunakan untuk pakan ternaknya dan yang tidak bisa diolah lagi akhirnya ia bakar di belakang rumah. Dan ia lakukan secara terus menerus.
 
Masalah kemudian muncul. Rata sakit dan harus beberapa kali ke Rumah Sakit untuk melakukan Rontgen karena mengeluh pusing dan sesak nafas yang kemungkinan adalah kanker karena kebiasaan Rata yang selalu membakar sampah sisa hotel di belakang rumahnya. Pihak hotelpun seakan ingin menggunakan kesempatan ini. Rata dihentikan dari pekerjaannya dengan alasan tidak jelas, padahal ada kontrak yang mengikat antara dia dan pihak hotel. 

Belum selesai sampai disana, anak Rata yang bekerja sebagai teknisi pun akhirnya ikut dipecat. Alasan pemecatannya pun sangat tak masuk akal. Dia dikatakan mencuri aki bekas milik hotel. Padalah jelas-jelas sebelum ia mengambil aki tersebut, ia sudah bertanya dengan pihak hotel dan kepala satpam. Karena ia sempat menggantikan tugas ayahnya untuk mengambil sampah hotel. Dan saat itu aki tersebut dikatakan sudah rusak dan memang akan di buang. Namun ketika perjalanan pulang ia justru di tangkap oleh polisi dan ditahan dengan tuduhan mencuri aki bekas hotel. Dan hotel justru lepas tangan dalam kasus anak Rata.

Ternak babi pun habis di jual untuk membayar biaya pengobatan dan untuk mengeluarkan anak Rata dari tahanan. Istri Rata yang akhirnya tidak sanggup lagi menahan beban keluarga pun akhirnya memilih pergi meninggalkan Rata dan keluarga.

Saat cerita ini selesai di ceritakan Rata, aku terdiam dalam waktu yang sangat lama. Rasa kemanusiaanku tergugah saat aku melihat Rata. Bukan karena aku kasihan. Mungkin Rata pun tidak ingin di kasihani. Karena kasihan cenderung membersitkan sebuah keangkuhan. Aku tergugah, karena aku melihat ketidakadilan disini. Di saat Bali di agung-agungkan sebagai daerah pariwisata, saat semua investor dan orang-orang yang diuntungkan dari kue-kue pariwisata berpesta pora saling sikat dan saling sikut untuk membagi kue-kue pariwisata tersebut, adakah Rata mendapat sedikit saja kesempatan untuk mencicipi rasa dari potongan 'kue' pariwisata itu?

Mungkin saja tidak dan mungkin saja tidak untuk selamanya. Rata bisa jadi hanya secuil kisah manusia yang termarginalkan dari gembar-gembor dan kemewahan pariwisata yang ditawarkan untuk memenuhi hasrat borjuasi golongan kelas atas. Dan mungkin saja, Rata yang kutemui ini hanya satu dari Rata-Rata lainnya yang juga memiliki nasib serupa. 


Hak Atas Kesehatan Masih Di Langit


Fenomena si bocah Ponari dan batu ‘ajaib’-nya belum hilang.
Konon batu ajaib itu bisa menyembuhkan orang sakit. Kala itu, pemberitaannya terus menerus ditayangkan di media cetak maupun televisi. Dia bahkan sampai mengalahkan pemberitaan tentang politik. Banyak orang datang berbondong-bondong untuk mendapat kesembuhan dari batu yang dibawa si anak dengan mencelupkannya ke dalam air. Meski telah diperingatkan oleh pemerintah, masih saja ada warga datang ke rumah Ponari untuk meminta kesehatan.
Kini, fenomena serupa muncul kembali. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, seorang gadis remaja bernama Tina Agustina dipercaya bisa mengeluarkan batu kristal dari air matanya. Seakan tidak mau melepaskan kesempatan, dengan memanfaatkan ketenarannya, dia kini menjadi sang penyembuh. Sekali lagi, masyarakat pun mulai datang beramai-ramai membawa keluarga mereka yang sakit untuk mencoba peruntungan lewat bulir-bulir kristal tersebut.
Sebenarnya, dua sosok mendadak menjadi penyembuh di atas merupakan fenomena gunung es pengobatan alternatif berbasis mitos di negeri ini. Selanjutnya, muncul  pertanyaan ada apa dengan pelayanan kesehatan formal yang selama ini disediakan pemerintah? Mengapa warga cenderung membawa keluarga mereka yang sakit ke pengobatan alternatif ini?
Hak Atas Kesehatan
Hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dijamin konstitusi dan konvenan internasional tentang hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan demikian, pemerintah dalam pengejawantahannya sebagai negara memiliki tanggung jawab menjamin hak atas kesehatan warga negara-nya, termasuk di dalamnya menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau.
Mengacu pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, dimandatkan bahwa pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dialokasikasikan minimal sebesar 5 persen dari APBN di luar gaji tenaga kesehatan. Selanjutnya, di tingkat daerah anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota haruslah dialokasikan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Namun, memang masih menjadi perdebatan apakah anggaran tersebut telah cukup atau masih perlu ditingkatkan. Jika mengambil contoh anggaran pendidikan yang hingga 20 persen sekalipun, tidak menutup fakta bahwa masih banyak anak usia sekolah tidak dapat bersekolah dengan berbagai alasan. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan, besaran alokasi anggaran tidak serta merta dapat memberikan jaminan bahwa hak setiap warga negara atas kesehatan.
Yang tak kalah penting adalah pencegahan terhadap penyebaran penyakit. Alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan kenaikan anggaran pelestarian lingkungan karena terdapat korelasi erat antara lingkungan dengan kesehatan. Jadi pemenuhan hak atas kesehatan haruslah bersifat terintegrasi dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan demikian, negara harus menjamin bahwa alokasi anggaran bagi pemenuhan hak di atas tepat pada sasaran tidak seperti banyak program pemerintah yang akhirnya menjadi mubazir karena kelemahan dalam pengelolaannya.
Kesehatan Sebagi Industri
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan dan profesi kesehatan merupakan bagian dari industri. Sejak awal, orang yang hendak masuk Fakultas Kedokteran harus menyiapkan anggaran tidak sedikit. Sehingga pada akhirnya hanya orang-orang dengan latar belakang ekonomi atas yang mampu mengeyam sekolah kedokteran. Kompetensi dan kapasitas intelektual kurang menjadi prioritas saat penerimaan. Akibatnya, tidak heran kasus malpraktek kerap terjadi dan diprediksi akan semakin meningkat di masa mendatang.
Selain itu, kondisi di atas juga membentuk karakter para pekerja kesehatan sendiri. Dengan banyaknya uang yang telah mereka keluarkan untuk bersekolah yang dianggap sebagai investasi, maka mereka pun terbentuk dalam kerangka berpikir ekonomi. Mereka harus mengembalikan investasi yang telah ditanam secepatnya sehingga selanjutnya hanya tinggal menghitung laba.
Profesi kesehatan bukan lagi sebuah profesi karena panggilan idealisme sebagaimana mahasiswa-mahasiswa Stovia di era pergerakan nasional, melainkan profesi untuk menaikkan status sosial dan ekonomi semata.
Secara institusional, rumah sakit pun tak pelak menjadi sangat komersial. Pelayanan yang dibuat ribet dan perbedaan perlakuan bagi pasien berbasis kelas pun sering kali terjadi. Padahal pelayanan kesehatan berkaitan dengan hak hidup seseorang entah kaya ataupun miskin. Kesehatan ini pula akan menentukan perkembangan sebuah bangsa karena pembangunan tidak mungkin bisa dilepaskan dari aspek kesehatan penduduknya.
Tentu saja mahalnya biaya dan tidak bersahabatnya pelayanan kesehatan dan tingginya insiden malpraktik menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat untuk memperoleh akses kesehatan. Mungkin warga kaya akan memalingkan harapan akan kesehatan ke pelayanan kesehatan di luar negeri. Sedangkan warga ekonomi menengah ke bawah terjebak pada pilihan tradisional. Selain pengobatan alternatif menggunakan obat-obatan herbal, pengobatan alternatif yang lahir dari mitos pun menjadi secercah harapan bagi warga yang telah putus asa dengan pengobatan formal.
Di Bali sendiri, meski telah ada program pemberian asuransi kesehatan namun program mulia di atas kertas ini rupanya begitu problematik dalam pelaksanaannya. Pasien yang menggunakan layanan kesehatan ini sering kali diperlakukan bak warga kelas dua oleh rumah sakit.
Selain itu, masih banyak masyarakat Bali terutama di pelosok belum tersentuh program ini. Mereka jauh dari akses kesehatan layak. Nusa Lembongan, misalnya, meski pun dikenal sebagai daerah wisata bahari yang terkenal bagi Bali, perempuan hamil di sana harus jauh-jauh menyebarang ke Bali daratan untuk menemui dokter kandungan.
Padahal pentingnya aspek kesehatan akan menentukan kualitas sumber daya manusia Bali. Pada gilirannya hal ini akan menentukan tingkat pembangunan daerah dan daya saingnya dalam masyarakat yang semakin dinamis dan kompetitif. Berkaca pada masih belum terjaminnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka mungkin kita semua akan pesimis bahwa target pembangunan dalam Millenium Development Goals dapat terwujud di Bali pada 2015 nanti. Jika akses saja belum terwujud, maka hak atas kesehatan masih menjadi harapan yang berada di langit.

Tuesday, February 21, 2012

EKSISTENSI KELOMPOK REMAJA BERBASIS KEKERASAN


Beredarnya video kekerasan geng motor remaja putri di Bali beberapa waktu lalu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Hal ini dikarenakan dalam video yang berdurasi 5 menit 36 detik tersebut secara jelas dan gamblang memperlihatkan adegan kekerasan hingga pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa remaja putri, dengan jalan menggunting baju salah seorang rekan se-geng-nya yang dituduh berkhianat hingga nyaris telanjang. Dengan penampilan layaknya artis remaja di sinetron-sinetron televisi, sepertinya mereka tanpa rasa empati memukuli, menjambak hingga menendang temannya sendiri. Setting tempatnya pun dipilih sedemikian rupa yakni pojokan sebuah lahan kosong kosong lengkap dengan coretan-coretan dinding mirip dalam film-film gangster ala Holywood.
Sebenarnya trend menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang cenderung mengedepankan maskulinitas bukanlah hal baru di tengah masyarakat Bali. Sebut saja munculnya berbagai kelompok pemuda berbadan kekar lengkap dengan banner-banner yang menunjukkan eksistensi diri dan kelompoknya. Sepertinya lebih mudah menemukan pemuda Bali yang bergabung dalam salah satu kelompok pemuda tersebut ketimbang dengan menemukan pemuda Bali aktif di ruang-ruang diskusi yang lebih mengedepankan intelektualitas. Mungkin membesarkan otot jauh lebih mudah daripada menempa otak.
Menariknya dalam kasus video kekerasan ini, pelakunya bukanlah pemuda berbadan kekar tetapi sekelompok remaja putri. Menyimak kasus ini ada pelajaran penting yang bisa kita petik bersama. Beberapa hal yang penting untuk dipertimbangkan adalah aspek psikologis remaja, hukum, pendidikan dan perspektif feminisme. Oleh karena itu tulisan ini mencoba untuk melihat kasus tersebut menggunakan kerangka analisis aspek-aspek tersebut diatas.
Dari aspek psikologis remaja usia belasan tahun cenderung ingin menunjukkan jati dirinya kepada orang lain dengan berbagai cara. Hal ini dapat dilihat mulai dari cara mereka berpenampilan hingga model relasi diantara mereka. Dalam cara berpenampilan misalnya cenderung menggunakan seragam yang memuat atribut-atribut geng. Jadi dengan demikian setiap anggota geng diwajibkan untuk membeli seragam tersebut. Hal inilah yang disinyalir menjadi salah satu pokok masalah dalam kasus kekerasan tersebut dimana si korban belum melunasi pembelian atribut geng dan disamping itu ia juga menggunakan atribut geng sebagai keset di rumahnya. Hal ini dianggap melecehkan simbol soliditas dan eksistensi kelompok. Dalam hal model relasi, kelompok ini cenderung tunduk pada model hierarki yang bersifat rigid (mirip asas kesatuan komando dalam militer) dimana seorang ketua geng diberikan justifikasi untuk melakukan tindakan apa saja dalam mempertahankan eksistensi kelompok.
Dari sudut pandang perempuan melihat kasus tersebut sebagai bentuk pergeseran nilai-nilai feminimisme menjadi pengagungan maskulinitas. Yang dimaksud feminimisme dalam hal ini adalah nilai-nilai empati, penuh kasih dan kepedulian terhadap sesama yang secara gender diharapkan dimiliki oleh perempuan. Sedangkan maskulinitas lebih menonjolkan karakter-karakter yang keras dan macho. Pergeseran nilai ini dapat dilihat mulai dari nama geng motor tersebut, yakni Cewek Macho Perfomance (CMP). Sepertinya mereka menggandrungi karakter ke-laki-laki-an sebagai karakter dari kelompok. Terlebih lagi mereka tergabung dalam suatu geng motor yang selama ini identik dengan kaum laki-laki. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam satu individu pasti memiliki dua nilai diatas, namun dalam kasus ini jelas bahwa ada over maskulinitas yang coba ditonjolkan oleh para remaja putri ini.
Dari segi hukum mungkin akan terjadi perdebatan apakah harus dikenakan sanksi pidana umum yakni penganiayaan atau dikembalikan pada konteks kenakalan remaja. Hal ini mengingat usia pelaku dalam video tersebut masih tergolong anak di bawah umur. Jika dijerat dengan pidana umum, banyak orang akan berpendapat bahwa langkah tersebut dapat memberikan efek jera, namun tidak berusaha untuk melihat dari aspek psikologis anak mengingat usia mereka yang masih sangat muda dan memiliki potensi untuk bisa berubah. Sedangkan jika hanya dianggap sebagai kenakalan remaja, maka akan menumbuh suburkan kekerasan di kalangan geng motor yang faktanya banyak beranggotakan para remaja. Pada titik inilah tanggung jawab negara ditantang untuk berperan dalam membina remaja yang tidak mendapat perhatian di lingkungan keluarganya.
Jika benar berita di media yang menyatakan mereka tidak bersekolah, hal ini merupakan tamparan bagi dunia pendidikan. Seorang anak usia sekolah yang seharusnya sedang mengenyam pendidikan demi meraih masa depan justru berkeliaran di jalan dengan ugal-ugalan. Dapat saja mereka berargumentasi untuk tidak bersekolah karena urusan ekonomi, hal ini nampak masuk akal mengingat mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Namun sayangnya alasan ini akan terbantah oleh sebuah fakta bahwa mereka memiliki sepeda motor dan berpenampilan modis. Jika memang mereka tidak bersekolah karena dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu nakal, nampaknya dunia pendidikan kita belum berhasil mendidik dan menjadikan anak nakal menemukan ruang-ruang mereka untuk berkreatifitas dan mengembangkan bakat-bakatnya. Atau mungkin justru dunia pendidikan yang membuat mereka nakal karena metode pengajaran yang membosankan berikut beban studi yang berlebihan hingga membuat mereka berontak.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fenomena kekerasan yang ditonjolkan dalam kasus ini sebenarnya mengandung kompleksitas. Dimana berbagai dimensi harus kita lihat sebagai aspek yang berhubungan satu sama lain yang mengkondisikan keagresifan para remaja kita saat ini. Oleh karena itu solusi yang terintegrasi mulai dari aspek psikologis, hukum, pendidikan dan budaya mutlak dibutuhkan guna mencegah perilaku-perilaku agresif dan destruktif seperti yang telah terjadi agar tidak terulang kembali. Disisi lain, keluarga yang menjadi entitas terdekat dan yang seharusnya paling mengetahui perkembangan anak sudah semestinya memberikan pengertian dan melakukan pendampingan terhadap anak termasuk juga dalam hal menonton siaran televisi berupa sinetron dan film-film yang dipenuhi oleh adegan kekerasan. Bagi anak-anak yang tidak menemukan kenyamanan dalam keluarga, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara dalam membina dengan jalan mengefektifkan program-program pengembangan kreatifitas remaja guna menjadi wadah penyaluran energi kreatif dan agresifitas.

Wednesday, December 21, 2011

Perempuan-Perempuan Perkasa Sebuah Tempat Bernama Taman 65

Kuhabiskan segelas air putih segera sebelum aku beranjak meninggalkan rumah. Pagi di akhir bulan  Juni membuatku sedikit bersemangat entah karena apa, karena kurasa tidak ada salahnya jika coba ku bangun sedikit mood baik di pagi hari sebelum memulai aktivitas di luar rumah. Tidak banyak yang akan aku kerjakan hari ini. Hanya mengurusi beberapa hal teknis di kampus. Maklum, aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak memiliki jadwal kuliah lagi, jadi aku memiliki lebih banyak waktu luang yang coba kuiisi dengan aktif di sebuah sanggar dan komunitas.

Berbicara komunitas, masih segar di kepala mengenai diskusi beberapa teman baru di komunitas tempat aku sering habiskan waktu belakangan ini. Bukan diskusi besar memang, hanya beberapa penghuni tetap komunitas tersebut yang coba membahas apa saja yang menarik di luaran sana dan tentunya menjadi sesuatu yang tidak tabu untuk dibicarakan.  Diskusi semalam dimulai dengan politisasi ritual di bali yang kian marak dimana seorang dari mereka dengan menggebu-gebu berbicara mengenai dampak ritual tersebut bagi kaum perempuan dan menggebu-gebu pula dalam diskusi berikutnya mengenai kerangka berpikir perempuan Bali yang sulit untuk diajak kritis apalagi untuk melakukan perlawanan yang ada dalam keluarganya. Akupun hanya manggut-manggut mendengar diskusi yang tampaknya tidak akan berhenti pada satu pemikiran final, sambil sesekali kulihat botol air mineral ‘fiktif’ yang masih setengah terisi arak. ‘‘Belum habis juga rupanya,’’ kata yang terlintas di benakku saat itu dan aku dengan demikian aku tahu bahwa diskusi masih akan berlangsung lama.

Aku memang belum lama berada dalam komunitas tersebut. Komunitas heterogen yang terdiri dari berbagai tingkah polah manusia dengan kelebihannya masing-masing dan sudah barang tentu jumlah perempuan yang tidak sebanyak laki-laki. Mungkin karena stereotype yang berkembang bahwa perempuan yang masuk dalam suatu komunitas tidak lain hanya untuk mencari pasangan dengan tingkat intelektualitas tertentu karena di alam bawah sadar mereka mungkin masih meletakkan urusan intelektualitas pada domain laki-laki. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh keberadaan ibu-ibu di komunitas tersebut yang dilibatkan dalam kegiatan semata-mata untuk hal-hal remeh sebut saja menghaturkan sesajen dan menyiapkan konsumsi bagi para tamu yang hadir dalam setiap acara yang digelar di komunitas tersebut. Pengalaman di ruang kecil ini kemudian menyebabkan para pegiat laki-laki melakukan generalisasi bahwa  peran perempuan di luaran sana tidak jauh berbeda dengan peran para ibu-ibu di komunitas tersebut.

*****

Senja itu, suasana cukup ramai dengan beberapa pelajar asing yang sedang mengikuti beberapa program yang diadakan oleh komunitas tersebut. Para lelaki tampak lebih antusias ketimbang wanita. Wajar saja, sekali lagi karena jumlah yang tak sebanding dan kebanyakan pelajar tersebut juga wanita. Senja berganti malam, satu persatu pegiat komunitas mulai berdatangan, berkumpul melingkar mengelilingi ubin dengan batu sikat yang ditata sedemikian rupa membentuk angka 65. Petikan senar gitar mulai terdengar membentuk rangkaian nada bersanding dengan suara gelak tawa para pelajar dan mereka yang memiliki kemampuan bermusik pun mulai beraksi. Di sisi lain lingkaran tersebut tampak juga beberapa raut serius para pelajar mendengar diskusi yang cukup menarik dari para pegiat komunitas yang tentunya coba dijelaskan dalam bahasa asing. Aku menikmati keduanya. Sesekali aku menyimak diskusi mereka dan sesekali aku ikut berdendang kecil ketika mereka memainkan lagu yang tidak asing di telingaku.

“Orang Bali sekarang gila akan ritual!” begitu kata seorang dari mereka. “Sedikit-sedikit ritual dan memakan waktu yang tidak sebentar, dan kaum perempuan sering jadi korban karena mereka harus ngayah berhari-hari,” sambung seorang lainnya. Ritual sekarang menjadi komoditi baru untuk diperjualbelikan pada turis, belum lagi dampak media lokal yang menyiarkan berbagai macam ritual dengan tingkatan yang paling tinggi, sehingga timbul persaingan dalam masyarakat untuk berlomba-lomba membuat ritual dengan harapan bisa masuk TV.

“Kasihan para perempuan, belum selesai dengan urusan tetek bengek ritual, dirumah juga harus berhadapan dengan berbagai persoalan lain. Sebut saja suami yang suka semaunya atau berurusan dengan mertua dan bla..bla..bla..” sambung yang lainnya lagi. Betapa sulitnya menjadi perempuan Bali di tengah sistem patriarki yang masih bercokol di benak setiap laki-laki Bali pada umumnya dan dilanggengkan oleh persetujuan pasif kaum perempuan.

*****

Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi begitu saja, melainkan karena sistem yang menginginkan hal itu terjadi. Penindasan terhadap kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Dimana hal ini disebabkan adanya sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peranan kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang ditindas. Penindasan itu bukan saja berasal dari kategori seksual laki-perempuan saja. Kategori biologis ini dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal tersebut. Sebagai contoh, sistem pertanian di Bali. Dahulunya peran antara laki-laki dan perempuan seimbang. Dimana perempuan dibutuhkan dalam proses bertani untuk mengerjakan pembersihan lahan pertanian dari gulma yang dikenal dengan istilah mejukut, dan setelah padi layak untuk di panen pun peran perempuan masih tetap dibutuhkan dimana kemudian munculah istilah sekeha manyi dan sekeha nebuk. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi pertanian, keberadaan sekeha-sekeha tersebut mulai tergantikan dengan alat-alat yang lebih canggih. Untuk menyingkikan gulma sekarang muncul terobosan baru dengan pestisida yang tidak hanya menghilangkan peran kaum perempuan yang dulunya bertugas untuk itu, tapi juga merubah system rantai makanan. Perempuan kini terpaksa hanya berdiam dirumah mengerjakan pekerjaan rumah dan menanti para suami pulang dengan membawa hasil. Yang lama-kelamaan menimbulkan adanya hierarki antara perempuan dan laki-laki. Dimana keadaan ini membuat para perempuan yang dulunya aktif dalam proses pertanian menjadi ketergantungan dengan kaum laki-laki.

Bentuk lain dari marginalisasi perempuan adalah hukum yang ada di Indonesia dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi laki-laki daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti seperti ini justru membenarkan hierarki antara laki-laki dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Sebut saja UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat 3: “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Kemudian dalam Pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa suami wajib mencari uang demi kelangsungan perekonomian rumah tangganya:“suami wajib… memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Sedangkan Pasal 34 ayat 2 mengatur kewajiban isteri untuk mengurus rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberi kesempatan kepada isteri untuk mencapai kemandirian ekonomis. Bila kemandirian ekonomis saja tidak tercapai, maka dapat diragukan pula isteri akan memiliki kemandirian psikologis dan politis dari suaminya. Dan sekali lagi sistem hukum pun membuat isteri (kaum perempuan) menjadi sangat tergantung pada suaminya (kaum laki-laki).

********

Perempuan bukanlah bagian dari masyarakat terbuang dan bukan pula kaum tanpa eksistensi dan tak berarti. Bagaimanapun juga kehadiran perempuan memberikan warna tersendiri di tengah dominasi kaum laki-laki dan hegemoni melalui negara dan agama yang melegalkan diskriminasi gender terhadap kaum perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan menghadapi ketertindasan akibat hidup dalam tatanan patriarkhi bahkan sampai hari inipun masih banyak ditemukan kasus yang korbannya rata-rata perempuan. Namun tidak bisa dipungkiri jika sejarah juga menorehkan catatan penting tentang perjuangan kaum perempuan melawan ketertindasan. Masih teringat ketika para aktivis sosialis utopis mencetuskan feminisme generasi pertama hingga membuat seorang Mary Wollstonecraft di tahun 1792 berhasil membuat sebuah karya berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) oleh yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Bukankah bisa dilihat betapa dia bisa memiliki pemikiran bahwa perempuan secara alam tidak lebih rendah dibanding laki-laki, tetapi justru melihat mereka hanya memiliki lebih sedikit pendidikan. Dewasa ini ketika kesempatan bagi perempuan untuk menikmati pendidikan sama dengan kesempatan yang dimiliki laki-laki, namun tetap saja ada penilian bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki. Mungkin saja hal ini tidak hanya melulu urusan tingkat pendidikan tapi juga bagian dari psikologis tidak hanya kaum laki-laki namun juga perempuan yang di alam bawah sadarnya masih terdapat pemikiran-pemikiran konservatif mengenai bagaimana menjadi “pelayan” yang baik bagi laki-laki.

Dalam sebuah komunitas bernama Taman 65, aku menemukan perempuan-perempuan “perkasa” yang mencoba mendobrak pandangan-pandangan konservatif bahwa perempuan harus selalu di bawah laki-laki dan mengayomi laki-laki, bukan pula  feminisme radikal yang anti terhadap laki-laki melainkan mencoba membuat laki-laki agar mau mengerti keadaan perempuan dan memberikan hak kepada perempuan untuk memutuskan serta dan mencoba  mengadakan penyegaran bahwa perempuan adalah personhood–manusia secara utuh, bukan “mainan atau lonceng laki-laki” atau sekadar alat/instrumen untuk kebahagiaan dan kesempurnaan orang lain, seperti yang juga coba dituliskan oleh Mary Wollstonecraft. 

Aku cukup menyadari untuk mengkaji perempuan tidaklah bisa dilihat dari satu sudut pandang mengingat keadaan geografis, sosial dan budaya yang majemuk. Namun seperti para feminism radikal meyakini bahwa setiap individu memiliki hak untuk bertanya how ought I to live and how ought I to know what’s right and what’s wrong? Bahwa setiap manusia berhak untuk menentukan bagaimana dia harus hidup dan bagaiamana dia menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi kehidupannya sendiri.

Begitu juga aku melihat perempuan-perempuan “perkasa” ini dalam lingkup Taman 65. Mereka sedikit tidaknya telah berhasil melakukan penyegaran ditengah pandangan skeptik para laki-laki yang juga ada dalam lingkup sama. Aku hanya ingin meminjam beberapa bait tulisan Emma Goldman: “The higher mental development of woman, the less possible it is for her to meet a congenial male who will see in her, not only sex, but also the human being, the friend, the comrade and strong individuality, who cannot and ought not lose a single trait of her character.”

Sunday, November 6, 2011

Penerapan CSR Terhadap Hotel Berbentuk PT di Bali

CSR merupakan sebuah konsep yang sampai hari ini masih menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademis maupun di dunia bisnis. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan pandangan antara para penganut teori ekonomi klasik sebangsa Adam Smith yang berpandangan bahwa perusahaan semata-mata hanya bertugas untuk mencari keuntungan. pendapat ini juga diperkuat oleh Milton Friedman, bapak dari neo-liberalisme. Pada tahun 1962, Milton Friedman dalam bukunya yang berjudul: Capitalism and Freedom dan salah satu tulisannya dalam The New York Times Magazine (September 1970) pada intinya berpendapat, bahwa satu-satunya tujuan dari social responsibility perusahaan adalah memaksimalkan pendapatan dan kekayaan perusahaan bagi para pemegang sahamnya. Berawal dari pendapat Friedman inilah akhirnya banyak perusahaan yang bersikap anti sosial dan dalam banyak hal melakukan praktik yang eksploitatif terhadap pekerja dan lingkungan hidup dengan tujuan semata-mata untuk mengakumulasikan keuntungan dan menyebabkan terjadinya praktik pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Hal ini tentunya menimbulkan respon dari para penganut teori ekonomi modern sebangsa John Elkington yang muncul dengan Triple Bottom Line Theory nya, bahwa perusahaan di dalam menjalankan kegiatan usahanya selain bertujuan mencari keuntungan, juga harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang dikenal dengan "3P" (Profit, People and Planet).

Pembahasan menganai CSR pun tidak berhenti sampai disana. Hal ini bisa dilihat dari konferensi-konferensi Internasional yang mulai membahas dan coba menyempurnakan konsep CSR itu sendiri. Dimulai dari dekade 1980 - 1990 dengan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, kemudian berlanjut tahun 2002 dengan pertemuan internasional di Johannesburg yang memunculkan konsep social responsibility untuk melengkapi dua konsep sebelumnya mengenai economic growth dan environmental sustainability. Kemudian di tahun 2007 sebuah pertemuan internasional yang diadakan di Jenewa dengan tema UN Global Compact berusaha menyempurnakan konsep sebelumnya menjadi sebuah konsep yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility

Selanjutnya bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri konsep mengenai CSR ini diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Namun jika kita perhatikan secara seksama, terdapat perbedaan prinsip yang diatur dalam kedua UU ini. Sebut saja UUPM dalam penjelasan Pasal 15 disebutkan: "Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat". Tanggung jawab dalam hal ini bermakna bahwa perusahaan secara sadar maupun tidak terikat dan harus melaksanakan CSR. sedangkan pada penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPT disebutkan: "Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya". Komitmen perseroan setidaknya membutuhkan kesadaran terlebih dahulu dari perusahaan untuk melaksanakan CSR. Maka tidak heran jika sampai hari ini CSR ini masih menjadi sebuah perdebatan di kalangan dunia usaha untuk menjalankannya walaupun tidak sedikit juga perusahaan yang mulai melaksanakannya karena merasa CSR memang penting karena terkait dengan image perusahaan di masyarakat.

Bagaimana dengan sektor pariwisata khususnya perhotelan? Perkembangan konsep ini di sektor pariwisata tidak berjalan sepesat di sektor bisnis yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, misalnya pertambangan. Bidang jasa perhotelan jika dilihat dalam penjelasan Pasal 74 UUPT bukan sebagai kegiatan usaha yang memanfaatkan sumber daya alam namun dapat ditafsirkan sebagai kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal ini seakan-akan membuat hotel menjadi tidak terlalu urgent untuk melaksanakan CSR. Jika perusahaan pertambangan jelas harus melaksanakan CSR karena mereka menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas untuk diperjual belikan. Namun bagaimana dengan hotel? memang hotel tidak menggunakan sumber daya alam untuk komoditas. Namun pernahkah kita sadari bahwa hotel menggunakan air di dalam menjalankan usahanya. Walaupun air hanya digunakan sebagai pelengkap pelayanan (leisure) bagi para tamu yang menginap.

Di Bali misalnya, cukup jarang ditemukan perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Namun Bali sebagai tujuan pariwisata mendorong semakin banyaknya investasi untuk pembangunan sarana penunjang pariwisata dalam bentuk hotel, lapangan golf, resort dan sebagainya. Jika ditelaah lebih jauh, kegiatan usaha yang memerlukan pasokan air bersih dalam jumlah besar tersebut berdampak pada pasokan sumber daya alam (air) bagi masyarakat lokal, dan perubahan fungsi lingkungan hidup misalnya alih fungsi hutan atau lahan produktif untuk hotel atau villa.

Sebagaimana disampaikan oleh Agung Wardana dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali, hotel yang memiliki kolam renang dan lapangan golf di Bali memerlukan sedikitnya 3 juta liter air per hari sedangkan sebuah keluarga dalam satu rumah di Bali hanya memerlukan sedikitnya 200 liter air per hari, dan kamar hotel membutuhkan 2000 liter per hari per kamar.[1] Belum lagi pengembangan pariwisata mewah di Bali telah mengakibatkan kenaikan pajak yang cukup tinggi dan memaksa petani untuk menjual tanah mereka hingga 1000 hektar.[2] Lahan pertanian produktif di konversi ke tujuan non-pertanian termasuk hotel dan lapangan golf setiap tahunnya.[3]

Menurut laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup, Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisist air sebanyak 1,5 milyar m3 per tahun. Defisit tersebut terus meningkat di tahun 2000 hingga 7,5 milyar m3 per tahun[4], dan pada tahun 2015 mendatang, Bali diperkirakan akan mengalami defisit air sebanyak 27,6 milyar m3 per tahun.[5]

Meski Pasal 74 UUPT mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan CSR, secara umum hotel-hotel menafsirkan belum ada kewajiban untuk melaksanakan CSR sampai adanya prosedur dan kriteria CSR yang jelas dan mengikat secara hukum karena seperti yang kita ketahui UUPT belum memberikan kriteria yang tegas mengenai CSR di bidang jasa perhotelan sebagai kegiatan yang berdampak pada fungsi kelangsungan sumber daya alam. Pengelolaan CSR sendiri di bidang jasa perhotelan masih berada di bawah Human Resource Department. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kebutuhan untuk membentuk unit khusus yang menangani CSR meskipun beberapa hotel menganggap bahwa CSR telah menjadi nilai dasar dalam operasional bisnis mereka dan telah melaksanakannya secara sukarela jauh sebelum UUPT mengaturnya walaupun dengan sebutan berbeda.

Sebagai sebuah kegiatan yang berdampak pada fungsi sumber daya alam, menurut UUPT, CSR dapat dikatakan wajib dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan. Namun UUPT tidak menyebutkan dengan tegas akibat hukum yang timbul apabila sebuah hotel tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatas. UUPT hanya merujuk pada peraturan yang terkait dengan bidang usaha dari perusahaan dimaksud. Secara lex specialis, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan merupakan peraturan terkait dengan usaha perhotelan dan UU ini mewajibkan pelaku usaha pariwisata untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (pasal 26). Adapun bagi pelaku usaha pariwisata yang tidak melakukannya akan dapat berakibat pada penjatuhan sanksi administratif mulai dari teguran hingga penghentian sementara kegiatan usaha (pasal 63). Namun tidak dirinci lebih jauh mengenai prosedur dan kriteria penjatuhan sanksi tersebut dan institusi mana yang memiliki kewenangan untuk itu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa belum adanya kejelasan kriteria mengenai bentuk-bentuk usaha yang wajib melaksanakan CSR dalam UUPT dan kewajiban untuk melaksanakan CSR dalam Pasal 74  UUPT tidak memiliki akibat hukum yang jelas bagi kegiatan usaha khususnya perhotelan karena UUPT hanya merujuk pada ketentuan terkait dan belum tersedianya PP. Oleh karena itu perlu adanya kesatuan pengaturan yang jelas terkait mengenai CSR agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap stakeholder terperinci dengan jelas. Kemudia untuk menciptakan kepastian hukum, perlu disusun Peraturan Pemerintah yang mengatur kriteria tata cara penilaian tentang pelaksanaan CSR hingga prosedur penjatuhan sanksi akibat dari adanya pelanggaran terhadap kewajiban (compliance mechanism) selain diadakannya optimalisasi institusi pemerintah yang telah ada dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan CSR.


[1]  http://www.tourismconcern.org.uk/golf.html, di akses pada Tanggal 24 Oktober 2011.
[2]  Ibid.
[3]  Ibid.
                [4]   http://www.inwater.com/news/wmview.php?ArtID=900
            [5]   Ibid

Tuesday, March 15, 2011

Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Pasar Modal



I.            Pentingnya GCG Dalam Pasar Modal
A.    Pengertian dan Konsep Dasar
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003). Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents” bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respon lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
 Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Sebagai sebuah konsep GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu. 
Center for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG, papar pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh stakeholders, bukan terbatas kepada shareholders saja. Hak adalah berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholders secara individual untuk mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholders menerima informasi yang diperlukan seputar aneka kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu  fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.

B.     Prinsip GCG
Penerapan corporate governance di pasar modal bertujuan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan, meningkatkan citra atau reputasi perusahaan, serta meningkatkan kemakmuran seluruh stakeholders. Terdapat lima prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Indepandency dan Fairness yang biasanya diakronimkan menjadi TARIF.  Penjabarannya sebagai berikut   :
  1. Transparency (keterbukaan informasi)
Secara sederhana bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi.  Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.

  1. Accountability (akuntabilitas)
Yang dimaksud dengan akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, system dan pertanggungjawaban elemen perusahaan.  Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

  1. Responsibility (pertanggung jawaban)
Bentuk pertanggung jawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya; masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya.  Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.

  1. Indepandency (kemandirian)
Intinya, prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara profesional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

  1. Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.  Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.

Pasar modal berkembang baik jika penerapan GCG-nya konsisten. Corporate governance bukan hanya sebagai aksesoris, tetapi melekat sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu  struktur kepemilikan, hukum dan enforcement, sistem ekonomi, sosial, budaya, proses, serta ukuran.
Ada dua paradigma corporate governance, yaitu shareholding dan stakeholding kinerja yang jelas. Paradigma pertama punya ciri individual liberty yang tujuannya hanya memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Paradigma kedua berciri justice for all yang bertujuan mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholders dalam perusahaan. Selain pemegang saham, karyawan, konsumen,  pemerintah, dan masyarakat.
Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

II.            Hubungan GCG Dengan Perlindungan Investor Publik
Dari konsep GCG yang telah dijabarkan sebelumnya diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan  bahwa Good Corporate Governance merupakan: 
1.      Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para Stakeholder lainnya.
2.      Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3.      Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. 
 Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni; 
1.      Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut (keseimbangan internal)
2.      Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara perusahaan dengan stakeholders (keseimbangan eksternal). Di antaranya, tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan, serta pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
3.      Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.
4.      Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading). 
Berfasarkan penjelesan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan GCG. Implementasi GCG dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepentingan investor, terutam para pemegang saham di perusahaan-perusahaan terbuka. Di samping itu, implementasi GCG akan mendorong
tumbuhnya mekanisme check and balance di lingkungan manajemen khususnya dalam
member perhatian kepada kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait dengan peran pemegang saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris dan direksi, dan dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping pelindungan investor, regulasi mewajibkan sistem yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis antar perusahaan dalam satu grup yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Semangat untuk memperoleh persetujuan publik dalam transaksi, merupakan bentuk penerapan prinsip akuntabilitas.
III.            Hubungan Antara Konsep CSR dengan GCG
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan (trend) meningkatnya tuntutan publik atas transparansi dan akuntabilitas baik dalam pasar modal maupun perusahaan sebagai wujud implementasi good corporate governance (GCG). Salah satu implementasi GCG adalah melalui penerapan corporate social responsibility (CSR).
CSR menurut World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai akuntabilitas publik.
Salah satu prinsip GCG adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan.
Pertama, perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan. Kedua, dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja. Ketiga, masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.
Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup (sustainable environtment responsibility).
Dalam era reformasi yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keterbukaan, seharusnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya semakin meningkat. Perusahaan yang tidak memiliki kepedulian sosial dengan lingkungan sekitarnya akan banyak menemui berbagai kendala, misalnya sering didemo oleh masyarakat, bahkan ada perusahaan yang terpaksa ditutup oleh pihak yang berwenang.
Kita selama ini hanya mengenal audit keuangan (financial audit) saja, namun suatu saat nanti bisa muncul suatu audit sosial (social audit). Yang mulai berkembang saat ini adalah audit lingkungan (environtment audit). Paradigma baru perusahaan yang dianggap tumbuh & berkelanjutan (growth & sustainable company) saat ini tidak hanya diukur dari pencapaian laba (profit) saja, namun juga diukur dari kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya, baik terhadap komunitas lokal, masyarakat luas maupun lingkungan hidup.
Berkenaan dengan hal tersebut, muncul triple bottom line model, yang terdiri dari profit, people & planet (3 P). Laporan suatu perusahaan yang menggunakan model triple bottom line, selain melaporkan aspek keuangan juga melaporkan aspek kepedulian sosial dan upaya pelestarian lingkungan hidup.
Beberapa waktu yang lalu telah diperkenalkan sustainable reporting, yaitu suatu laporan yang bersifat non-finansial yang dapat dipakai sebagai acuan oleh perusahaan untuk melihat pelaporan dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Global Reporting Initiative & Value Reporting telah mengeluarkan pedoman yang disebut Sustainable Reporting Guidelines. New York Stock Exchange di Amerika Serikat telah memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) sejak tahun 1999, yang telah memasukkan nilai corporate sustainability untuk saham-saham perusahaan dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Inggris melalui London Stock Exchange (LSE) memiliki Socially Responsible Investment Index (SRI Index). Hanseng Stock Exchange (HSE) dan Singapore Stock Exchange (SSE) saat ini juga mulai berinisiatif untuk mengikuti trend di atas. Adanya kecenderungan tersebut dapat mendorong para investor terutama pihak asing untuk memilih menanamkan investasinya pada perusahaan yang telah menerapkan CSR dengan baik.


Discussion Task
*        Apakah menurut saudara Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) penting diterapkan dalam kegiatan Pasar Modal ?
Jawab :                      
Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) sangat penting diterapkan dalam kegiatan Pasar Modal karena Indonesia saat ini tengah memasuki globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas yang merupakan trend dan perkembangan terpenting saat ini. Persoalan bisnis tidak semata-mata lepas dari situasi dan tanggung jawab kepada masyarakat sekitar. Untuk itu diperlukan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) sebagai suatu kepercayaan bagi dunia usaha kita untuk kembali menata kehidupan bisnisnya menjadi lebih baik. Corporate Governance adalah mekanisne bagaimana sumber daya perusahaan dialokasikan menurut aturan “hak” dan “kuasa”. Pelaksanaan Good Corporate Governance          ( GCG ) adalah dianggap sebagai hal yang baik untuk membangun kepercayaan antara pihak manajemen dan penanam modal beserta krediturnya, sehingga pemasukan modal bisa terjadi kembali, yang pada giliranya dapat membantu proses pemulihan ekonomi Indonesia. Corporate Governance merupakan “proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas  perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai tambah pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan stakeholder yang lain”
*        Apakah hubungan antara Good Corporate Governance ( GCG ) dengan perlindungan Investor Publik ?
Jawab :
Good Corporate Governance ( GCG ) memiliki hubungan dengan perlindungan Investor Publik hal ini di dasarkan pad ide dasar yang muncul dari Good Corporate Governance (GCG) ini adalah untuk memisahkan fungsi dan kepentingan diantara para pihak ( stakeholder ) dalam suatu perusahaan, yaitu pihak yang menyediakan modal atau pemegang saham, pengawas, dan pelaksana sehari-hari usaha perusahaan dan masyarakat luas. Dengan pemisahaan tersebut perusahaan akan lebih efisien. Dalam perkembangan Corporate Governance ( CG ) dijadikan aturan atau standar di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direksi, manager dengan merinci tugas dan wewenang serta pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Corporate Governance ( CG ) mengandung prinsip-prinsip yang melindungi kepentingan perusahaan, pemegang saham, manajemen, board of directors, dan investor publik, serta pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah melalui penerapan fairness, transparency, accountability, dan respontability. Jadi pada pemaparan tersebut jelas bahwa Good Corporate Governance (GCG) mengandung prinsip-prinsip yang memberikan perlindungan bagi investor publik untuk melakukan kegiatan investasinya yaitu baik investasi dalam surat kepemilikan (saham) dan investasi dalam surat utang (obligasi).
*        Apakah  Corporate Social Responsibility ( CSR ) berhubungan dengan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) ?
Jawab :
Corporate Social Responsibility ( CSR ) berhubungan dengan Prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) dimana Salah satu implementasi Good Corporate Governance ( GCG ) di perusahaan adalah penerapan corporate social responsibility (CSR). Dalam era globalisasi kesadaran akan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi penting seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat terhadap produk (barang) yang ramah lingkungan. Corporate Social Responsibility ( CSR) menurut World Business Council on Sustainable Development (WBCSD) adalah suatu komitmen dari perusahaan untuk berperilaku etis (behavioral ethics) dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Sustainable Economic Development). Komitmen lainnya adalah meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal serta masyarakat luas. Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari top management perusahaan terhadap penerapan Corporate Social Responsibility ( CSR ) sebagai akuntabilitas publik. Salah satu prinsip Good Corporate Governance ( GCG ) adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Akhir-akhir ini terdapat tiga kepentingan publik yang oleh perusahaan cenderung terabaikan yaitu :
1.        Perusahaan hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pemegang sahamnya (shareholder), sedangkan masyarakat tempat di mana perusahaan tersebut berdomisili kurang diperhatikan.
2.        Dampak negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan semakin meningkat dan harus ditanggung oleh masyarakat sekitar. Sementara itu sebagian besar keuntungan manfaat hanya dinikmati oleh pemilik saham perusahaan saja.
3.        Masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi korban sebagian besar mengalami kesulitan untuk menuntut ganti rugi kepada perusahaan. Itu karena belum ada hukum (regulasi) yang mengatur secara jelas tentang akuntabilitas dan kewajiban perusahaan kepada publik.
Selain tanggung jawab perusahaan kepada pemegang saham tanggung jawab lainnya menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility         (CSR) dan tanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup Sustainable Environtment Responsibility. Jadi salah satu tanggung jawab (responsibility) yang terdapat pada prinsip Good Corporate Governance (GCG) adalah tanggung jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR).