Sunday, August 12, 2012

Hak Atas Kesehatan Masih Di Langit


Fenomena si bocah Ponari dan batu ‘ajaib’-nya belum hilang.
Konon batu ajaib itu bisa menyembuhkan orang sakit. Kala itu, pemberitaannya terus menerus ditayangkan di media cetak maupun televisi. Dia bahkan sampai mengalahkan pemberitaan tentang politik. Banyak orang datang berbondong-bondong untuk mendapat kesembuhan dari batu yang dibawa si anak dengan mencelupkannya ke dalam air. Meski telah diperingatkan oleh pemerintah, masih saja ada warga datang ke rumah Ponari untuk meminta kesehatan.
Kini, fenomena serupa muncul kembali. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, seorang gadis remaja bernama Tina Agustina dipercaya bisa mengeluarkan batu kristal dari air matanya. Seakan tidak mau melepaskan kesempatan, dengan memanfaatkan ketenarannya, dia kini menjadi sang penyembuh. Sekali lagi, masyarakat pun mulai datang beramai-ramai membawa keluarga mereka yang sakit untuk mencoba peruntungan lewat bulir-bulir kristal tersebut.
Sebenarnya, dua sosok mendadak menjadi penyembuh di atas merupakan fenomena gunung es pengobatan alternatif berbasis mitos di negeri ini. Selanjutnya, muncul  pertanyaan ada apa dengan pelayanan kesehatan formal yang selama ini disediakan pemerintah? Mengapa warga cenderung membawa keluarga mereka yang sakit ke pengobatan alternatif ini?
Hak Atas Kesehatan
Hak atas kesehatan merupakan hak asasi manusia sebagaimana dijamin konstitusi dan konvenan internasional tentang hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan demikian, pemerintah dalam pengejawantahannya sebagai negara memiliki tanggung jawab menjamin hak atas kesehatan warga negara-nya, termasuk di dalamnya menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau.
Mengacu pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, dimandatkan bahwa pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dialokasikasikan minimal sebesar 5 persen dari APBN di luar gaji tenaga kesehatan. Selanjutnya, di tingkat daerah anggaran kesehatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota haruslah dialokasikan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Namun, memang masih menjadi perdebatan apakah anggaran tersebut telah cukup atau masih perlu ditingkatkan. Jika mengambil contoh anggaran pendidikan yang hingga 20 persen sekalipun, tidak menutup fakta bahwa masih banyak anak usia sekolah tidak dapat bersekolah dengan berbagai alasan. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan, besaran alokasi anggaran tidak serta merta dapat memberikan jaminan bahwa hak setiap warga negara atas kesehatan.
Yang tak kalah penting adalah pencegahan terhadap penyebaran penyakit. Alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan kenaikan anggaran pelestarian lingkungan karena terdapat korelasi erat antara lingkungan dengan kesehatan. Jadi pemenuhan hak atas kesehatan haruslah bersifat terintegrasi dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan demikian, negara harus menjamin bahwa alokasi anggaran bagi pemenuhan hak di atas tepat pada sasaran tidak seperti banyak program pemerintah yang akhirnya menjadi mubazir karena kelemahan dalam pengelolaannya.
Kesehatan Sebagi Industri
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan dan profesi kesehatan merupakan bagian dari industri. Sejak awal, orang yang hendak masuk Fakultas Kedokteran harus menyiapkan anggaran tidak sedikit. Sehingga pada akhirnya hanya orang-orang dengan latar belakang ekonomi atas yang mampu mengeyam sekolah kedokteran. Kompetensi dan kapasitas intelektual kurang menjadi prioritas saat penerimaan. Akibatnya, tidak heran kasus malpraktek kerap terjadi dan diprediksi akan semakin meningkat di masa mendatang.
Selain itu, kondisi di atas juga membentuk karakter para pekerja kesehatan sendiri. Dengan banyaknya uang yang telah mereka keluarkan untuk bersekolah yang dianggap sebagai investasi, maka mereka pun terbentuk dalam kerangka berpikir ekonomi. Mereka harus mengembalikan investasi yang telah ditanam secepatnya sehingga selanjutnya hanya tinggal menghitung laba.
Profesi kesehatan bukan lagi sebuah profesi karena panggilan idealisme sebagaimana mahasiswa-mahasiswa Stovia di era pergerakan nasional, melainkan profesi untuk menaikkan status sosial dan ekonomi semata.
Secara institusional, rumah sakit pun tak pelak menjadi sangat komersial. Pelayanan yang dibuat ribet dan perbedaan perlakuan bagi pasien berbasis kelas pun sering kali terjadi. Padahal pelayanan kesehatan berkaitan dengan hak hidup seseorang entah kaya ataupun miskin. Kesehatan ini pula akan menentukan perkembangan sebuah bangsa karena pembangunan tidak mungkin bisa dilepaskan dari aspek kesehatan penduduknya.
Tentu saja mahalnya biaya dan tidak bersahabatnya pelayanan kesehatan dan tingginya insiden malpraktik menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat untuk memperoleh akses kesehatan. Mungkin warga kaya akan memalingkan harapan akan kesehatan ke pelayanan kesehatan di luar negeri. Sedangkan warga ekonomi menengah ke bawah terjebak pada pilihan tradisional. Selain pengobatan alternatif menggunakan obat-obatan herbal, pengobatan alternatif yang lahir dari mitos pun menjadi secercah harapan bagi warga yang telah putus asa dengan pengobatan formal.
Di Bali sendiri, meski telah ada program pemberian asuransi kesehatan namun program mulia di atas kertas ini rupanya begitu problematik dalam pelaksanaannya. Pasien yang menggunakan layanan kesehatan ini sering kali diperlakukan bak warga kelas dua oleh rumah sakit.
Selain itu, masih banyak masyarakat Bali terutama di pelosok belum tersentuh program ini. Mereka jauh dari akses kesehatan layak. Nusa Lembongan, misalnya, meski pun dikenal sebagai daerah wisata bahari yang terkenal bagi Bali, perempuan hamil di sana harus jauh-jauh menyebarang ke Bali daratan untuk menemui dokter kandungan.
Padahal pentingnya aspek kesehatan akan menentukan kualitas sumber daya manusia Bali. Pada gilirannya hal ini akan menentukan tingkat pembangunan daerah dan daya saingnya dalam masyarakat yang semakin dinamis dan kompetitif. Berkaca pada masih belum terjaminnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka mungkin kita semua akan pesimis bahwa target pembangunan dalam Millenium Development Goals dapat terwujud di Bali pada 2015 nanti. Jika akses saja belum terwujud, maka hak atas kesehatan masih menjadi harapan yang berada di langit.

No comments:

Post a Comment