Tuesday, March 15, 2011

RELEVANSI PERDA NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH PROVINSI BALI DALAM PENGATURAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN (Hk dan Kebijakan Publik)

BAB I
PENDAHULUAN

1.    Permasalahan
1.1  Latar Belakang Masalah
Agar manusia dapat melangsungkan kehidupannya, ia harus dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan dasarnya. Dimana kebutuhan primer atau kebutuhan dasar manusia secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yakni kebutuhan akan sandang, kebutuhan akan pangan dan yang terakhir kebutuhan akan papan.
Dewasa ini, pembangunan perkotaan di Indonesia, khususnya di Pulau Bali dihadapi oleh masalah besarnya jumlah penduduk  yang bermukim di  Pulau Bali. Dengan tingginya jumlah penduduk di Pulau Bali, maka harus ada pemenuhan akan lahan perumahan bagi masyarakat untuk menghindari munculnya rumah-rumah kumuh serta penyalahgunaan lahan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pendatang yang tingkat perekonomiannya tergolong menengah ke bawah. Namun kenyataannya, kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atas lahan perumahan dan permukiman masih sangat terbatas.
Keterbatasan lahan untuk perumahan  tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan membangun rumah yang mengambil ruang keatas ataupun rumah susun. Namun, di Bali pembangunan tersebut terbentur dengan ketentuan  yang mengatur larangan  untuk mendirikan bangunan lebih dari 15 meter, sehingga pembuatan rumah susun  untuk mengatasi permasalahan tersebut tidak dapat dilaksanakan.


1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah kebijakan Pemerintah  Provinsi Bali dalam bidang perumahan dan permukiman?
2.    Bagaimanakah relevansi kebijakan Pemerintah Provinsi Bali berkaitan dengan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman saat ini?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari karya tulis ini antara lain:
1.    Untuk mengetahui kebijakan pemerintah Provinsi Bali dalam bidang perumahan dan permukiman.
2.    Untuk mengetahui relevansi kebijakan Pemerintah Provinsi Bali berkaitan dengan kebutuhan lahan perumahan dan permukiman saat ini.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Bidang Perumahan
2.1.1    Kebijakan dan Perumahan
Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye[1] didefinisikan sebagai berikut:
“whatever governments choose to do or not to do”.
Kemudian, Carl J. Friedrich mengemukakan pengertian kebijakan publik sebagai berikut[2] :
     “Public policy is a proposed course of action of a person, group or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the poliscy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose”
(Kebijaksanaan pemertintah adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang , golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut didalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan suatu kehendak serta suatu tujuan tertentu).
James Anderson memberikan pengertian  atas definisi kebijakan publik dalam bukunya public policy making[3], sebagai berikut :
“ Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kebijakan terdapat beberapa pengertian kebijakan[4], antara lain ;
1.    Kepandaian, kemahiran , kebijaksanaan
2.    Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam    pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi,dsb.), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis haluan: - pemerintah mengenai moneter perlu dibahas sebagai garis bersama... “.
Sementara itu istilah perumahan dapat di definisikan sebagai berikut:
-     Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan: Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
-     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perumahan adalah[5]:
Kumpulan beberapa buah rumah; rumah-rumah tempat tinggal: pemerintah sedang mendirikan-untuk golongan menengah

2.1.2    Pengaturan Mengenai Kebijakan Dalam Bidang Perumahan
      Pengaturan mengenai kebijakan dalam bidang perumahan dapat dikaji berdasarkan instrumen hukum baik yang berlaku secara internasional, nasional maupun regional.
Secara internasional kebijakan dalam bidang perumahan diatur dalam :
a.    Pasal 25 Pernyatan Konvensi Internasional PBB tentang Hak-Hak Asasi manusia yang menyatakan “Setiap orang berhak atas taraf hidup memadai bagi kesehatan dan kesejahteraan diri maupun keluarganya, termasuk sandang, pangan, perumahan”.
b.    Pasal 11 Konvensi Internasional hak ekonomi, sosial , budaya (KIHESBI) yang ikut diratifikasi oleh Indonesia yakni diakuinya hak semua orang atas perumahan yang memadai sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasar.
Secara nasional pengaturan mengenai kebijakan dalam bidang perumahan dapat dikaji dari beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:
a.    Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat yang menyebutkan bahwa “...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,...”.
b.    Pasal 5 angka 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, yang menyatakan bahwa; “setiap warganegara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur”.
c.    Pasal 40 Undang-Undang No. 39 Tahun UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia menyatakan bahwa; “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
d.   Pasal 27 TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang menetapkan tiap orang berhak untuk bertempat tinggal.
Secara regional pengaturan mengenai kebijakan dalam bidang perumahan dapat dikaji dari beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya:
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Dapat dilihat pada Pasal:
-     Pasal 27 ayat 1 : “kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e merupakan kawasan yang diperuntukkan bagi kegiatan permukiman atau di dominasi oleh lingkungan hunian, terdiri atas permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan, lokasinya tersebar diseluruh wilayah Kabupaten/Kota seluas 51.886 ha (9,2%) luas Provinsi.
-     Pasal 30 ayat (1)  huruf e nomor 2:
Ketinggian bangunan yang memanfaatkan ruang udara di atas permukaan bumi di batasi paling tinggi 15 meter, kecuali bangunan umum dan bangunan khusus yang memerlukan persyaratan ketinggian lebih dari 15 meter seperti menara, pemancar tiang listrik, tegangan tinggi, mercusuar, menara-menara bangunan keagamaan, bangunan untuk keselamatan penerbangan, bangunan pertahanan keamanan, dan bangunan khusus untuk kepentingan keselamatan dan keamanan umum lainnya setelah dilakukan pengkajian dengan memperhatikan keamanan, kenyamanan dan keserasian terhadap lingkungan sekitarnya, serta dikoordinasikan dengan instansi terkait.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa pembangunan perumahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan tersebut. Demikian juga halnya dengan pembangunan perumahan di Provinsi Bali yang pengaturannya mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Dalam perda tersebut sudah secara jelas ditentukan mengenai batasan tinggi bangunan dan luas wilayah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan permukiman.


2.1.3    Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam bidang perumahan masih relevan dengan keterbatasan  lahan perumahan di Propinsi Bali saat ini
Dewasa ini, dapat kita lihat bahwa jumlah pertambahan penduduk di Bali semakin meningkat seiring dengan mudahnya akses masuk ke pulau Bali. Hal ini membawa dampak pada terus meningkatnya pendatang dari luar Bali untuk menetap dan mencari pekerjaan sehingga mau tidak mau permintaan akan tempat tinggal akan semakin meningkat. Apabila mengacu pada Perda No. 3 Tahun 2005 yang menentukan tinggi bangunan termasuk di dalamnya perumahan tidak melebihi 15 meter dari permukaan tanah ( rata-rata tinggi pohon kelapa), maka  kebutuhan akan tempat tinggal tersebut sulit untuk diakomodasi. Terlebih lagi, dalam perda tersebut juga ditentukan bahwa luas lahan yang diperuntukkan untuk permukiman hanya seluas 9,2 % dari luas wilayah Provinsi Bali. Hal ini tentunya mempersulit baik pemerintah maupun masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman. Dilihat dari permasalahan keterbatasan lahan perumahan, maka kebijakan mengenai tinggi maksimal bangunan tersebut, dapat dikatakan belum memberikan solusi bagi permasalahan keterbatasan lahan. Solusi ini dirasakan sangat penting mengingat pertumbuhan rumah-rumah kumuh dan penyalahgunaan lahan di bali yang semakin meningkat.
Pada perkembangan selanjutnya, sempat timbul wacana dalam masyarakat berkaitan dengan solusi mengenai permasalahan tersebut. Salah satunya yaitu merevisi aturan tinggi bangunan tersebut sehingga pemenuhan kebutuhan lahan pemukiman dapat dilaksanakan dengan konsep perumahan vertikal, seperti misalnya apartemen dan pembangunan rumah susun. Namun konsep ini sulit diterapkan. Menurut Gubernur Bali, Bapak Made Mangku Pastika, mengatakan bahwa dengan dibatasinya tinggi bangunan maksimal 15 meter dapat mengakibatkan peralihan fungsi lahan pertanian untuk sarana pembangunan fisik tidak dapat dihindarkan. Dimana di Bali tiap tahunnya terjadi peralihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan fisik yang mencapai 600 ha sehingga lambat laun lahan pertanian akan habis.[6]
Namun menurut pendapat kami, kebijakan yang sudah tertuang ke dalam Perda No. 3 Tahun 2005 masih cukup relevan terhadap kebutuhan perumahan saat ini. Hal ini dapat dikatakan demikian karena pada hakekatnya budaya masyarakat Bali masih sangat di dominasi oleh eksistensi adat istiadat Bali yang berorientasi pada tata letak rumah yang khas dan sistem pengairan tradisional (subak) dimana seperti yang kita ketahui masyarakat Bali merupakan masyarakat agraris yang mata pencahariannya masih bersumber pada pertanian.  Selain itu jika dilihat dari kapasitas pulau Bali, belum memungkinkan untuk diterapkannya konsep rumah vertikal mengingat luas pulau Bali yang tergolong kecil dan hanya 51.886 ha dari luas Provinsi Bali yang dapat diperuntukkan sebagai perumahan, selain pertimbangan filosofis dan religius dari masyarakat Bali sendiri.
Sepatutnya dalam menanggulangi masalah keterbatasan lahan perumahan di Bali, pemerintah tidak perlu merevisi Perda tersebut akan tetapi justru memperketat penerapan dan pengawasan implementasi dari Perda ini untuk mengurangi kekhawatiran atas kapasitas daya dukung Bali yang tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk di Bali. Untuk mengantisipasi pertambahan penduduk di pulau Bali, maka pemerintah dapat memaksimalkan fungsi aturan kependudukan misalnya dengan memperketat izin masuk bagi pendatang ke pulau Bali.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Ketua PHDI Provinsi Bali, IGN. Sudiana yang menyatakan bahwa tinggi bangunan untuk fasilitas pelayanan publik di Bali termasuk di dalamnya perumahan yang berlaku saat ini tidak perlu di utak-atik lagi karena tidak konstruktif dalam konteks menjaga keajegan Bali untuk kepentingan Bali saat ini dan masa mendatang. Dengan kata lain usulan atau keinginan kalangan tertentu untuk merevisi tuntutan tinggi maksimal bangunan di Bali (33 meter) tidak perlu di akomodasi. Sebaiknya komponen masyarakat Bali tetap berbulat hati untuk mentaati ketentuan yang diberlakukan saat ini[7].
Upaya untuk mengatasi keterbatasan lahan permukiman di Bali tidak mentup kemungkinan dapat di tempuh melalui pembangunan perumahan vertikal sejauh pembangunannya tidak bertentangan dengan peraturan dan kebijakan dalam bidang perumahan yang berlaku di Provinsi Bali.


BAB III
PENUTUP


3.1  Simpulan
          Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan:
a.    Kebijakan Pemerintah  Provinsi Bali dalam bidang perumahan dan permukiman diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang secara tegas menetukan tinggi bangunan maksimal 15 meter dengan luas wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman sebesar 9,2% dari luas wilayah Provinsi Bali.
b.    Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam bidang perumahan masih cukup  relevan dengan kebutuhan lahan perumahan di Provinsi Bali saat ini mengingat kapasitas pulau Bali dan eksistensi adat istiadat serta dasar filosofis dan religius dari masyarakat Bali.

3.2  Saran
          Adapun saran yang dapat kami rekomendasikan terkait permasalahan ini adalah:
     Untuk menanggulangi keterbatasan lahan perumahan dan permukiman di Bali seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka pemerintah sepatutnya memperketat izin kependudukan sehingga kebutuhan akan perumahan dan permukiman dapat diminimalisir.






[1]   R. Dye, Thomas, 1978, Understanding Public Policy, 3rd Edition, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J, h. 3
[2]  Friedrich, Carl J., dalam H.Soenarko SD, 2003, Public Policy Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Jilid III, Airlangga University Press, Surabaya, h. 42
[3]  Agustinus Leo, 2006, Dasar-dasar Kebijakan Publik, CV. Alfabeta, Bandung, h.7
[4]   Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 131
[5]  Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 852
[6] http://www.gatra.com/2009-01-01/artikel.php?id=121476
[7] http://www.balipost.co.id/mediadetail

No comments:

Post a Comment