Kuhabiskan segelas air putih segera sebelum aku beranjak meninggalkan rumah. Pagi di akhir bulan Juni membuatku sedikit bersemangat entah karena apa, karena kurasa tidak ada salahnya jika coba ku bangun sedikit mood baik di pagi hari sebelum memulai aktivitas di luar rumah. Tidak banyak yang akan aku kerjakan hari ini. Hanya mengurusi beberapa hal teknis di kampus. Maklum, aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang tidak memiliki jadwal kuliah lagi, jadi aku memiliki lebih banyak waktu luang yang coba kuiisi dengan aktif di sebuah sanggar dan komunitas.
Berbicara komunitas, masih segar di kepala mengenai diskusi beberapa teman baru di komunitas tempat aku sering habiskan waktu belakangan ini. Bukan diskusi besar memang, hanya beberapa penghuni tetap komunitas tersebut yang coba membahas apa saja yang menarik di luaran sana dan tentunya menjadi sesuatu yang tidak tabu untuk dibicarakan. Diskusi semalam dimulai dengan politisasi ritual di bali yang kian marak dimana seorang dari mereka dengan menggebu-gebu berbicara mengenai dampak ritual tersebut bagi kaum perempuan dan menggebu-gebu pula dalam diskusi berikutnya mengenai kerangka berpikir perempuan Bali yang sulit untuk diajak kritis apalagi untuk melakukan perlawanan yang ada dalam keluarganya. Akupun hanya manggut-manggut mendengar diskusi yang tampaknya tidak akan berhenti pada satu pemikiran final, sambil sesekali kulihat botol air mineral ‘fiktif’ yang masih setengah terisi arak. ‘‘Belum habis juga rupanya,’’ kata yang terlintas di benakku saat itu dan aku dengan demikian aku tahu bahwa diskusi masih akan berlangsung lama.
Aku memang belum lama berada dalam komunitas tersebut. Komunitas heterogen yang terdiri dari berbagai tingkah polah manusia dengan kelebihannya masing-masing dan sudah barang tentu jumlah perempuan yang tidak sebanyak laki-laki. Mungkin karena stereotype yang berkembang bahwa perempuan yang masuk dalam suatu komunitas tidak lain hanya untuk mencari pasangan dengan tingkat intelektualitas tertentu karena di alam bawah sadar mereka mungkin masih meletakkan urusan intelektualitas pada domain laki-laki. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh keberadaan ibu-ibu di komunitas tersebut yang dilibatkan dalam kegiatan semata-mata untuk hal-hal remeh sebut saja menghaturkan sesajen dan menyiapkan konsumsi bagi para tamu yang hadir dalam setiap acara yang digelar di komunitas tersebut. Pengalaman di ruang kecil ini kemudian menyebabkan para pegiat laki-laki melakukan generalisasi bahwa peran perempuan di luaran sana tidak jauh berbeda dengan peran para ibu-ibu di komunitas tersebut.
*****
Senja itu, suasana cukup ramai dengan beberapa pelajar asing yang sedang mengikuti beberapa program yang diadakan oleh komunitas tersebut. Para lelaki tampak lebih antusias ketimbang wanita. Wajar saja, sekali lagi karena jumlah yang tak sebanding dan kebanyakan pelajar tersebut juga wanita. Senja berganti malam, satu persatu pegiat komunitas mulai berdatangan, berkumpul melingkar mengelilingi ubin dengan batu sikat yang ditata sedemikian rupa membentuk angka 65. Petikan senar gitar mulai terdengar membentuk rangkaian nada bersanding dengan suara gelak tawa para pelajar dan mereka yang memiliki kemampuan bermusik pun mulai beraksi. Di sisi lain lingkaran tersebut tampak juga beberapa raut serius para pelajar mendengar diskusi yang cukup menarik dari para pegiat komunitas yang tentunya coba dijelaskan dalam bahasa asing. Aku menikmati keduanya. Sesekali aku menyimak diskusi mereka dan sesekali aku ikut berdendang kecil ketika mereka memainkan lagu yang tidak asing di telingaku.
“Orang Bali sekarang gila akan ritual!” begitu kata seorang dari mereka. “Sedikit-sedikit ritual dan memakan waktu yang tidak sebentar, dan kaum perempuan sering jadi korban karena mereka harus ngayah berhari-hari,” sambung seorang lainnya. Ritual sekarang menjadi komoditi baru untuk diperjualbelikan pada turis, belum lagi dampak media lokal yang menyiarkan berbagai macam ritual dengan tingkatan yang paling tinggi, sehingga timbul persaingan dalam masyarakat untuk berlomba-lomba membuat ritual dengan harapan bisa masuk TV.
“Kasihan para perempuan, belum selesai dengan urusan tetek bengek ritual, dirumah juga harus berhadapan dengan berbagai persoalan lain. Sebut saja suami yang suka semaunya atau berurusan dengan mertua dan bla..bla..bla..” sambung yang lainnya lagi. Betapa sulitnya menjadi perempuan Bali di tengah sistem patriarki yang masih bercokol di benak setiap laki-laki Bali pada umumnya dan dilanggengkan oleh persetujuan pasif kaum perempuan.
*****
Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi begitu saja, melainkan karena sistem yang menginginkan hal itu terjadi. Penindasan terhadap kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Dimana hal ini disebabkan adanya sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peranan kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang ditindas. Penindasan itu bukan saja berasal dari kategori seksual laki-perempuan saja. Kategori biologis ini dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal tersebut. Sebagai contoh, sistem pertanian di Bali. Dahulunya peran antara laki-laki dan perempuan seimbang. Dimana perempuan dibutuhkan dalam proses bertani untuk mengerjakan pembersihan lahan pertanian dari gulma yang dikenal dengan istilah mejukut, dan setelah padi layak untuk di panen pun peran perempuan masih tetap dibutuhkan dimana kemudian munculah istilah sekeha manyi dan sekeha nebuk. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi pertanian, keberadaan sekeha-sekeha tersebut mulai tergantikan dengan alat-alat yang lebih canggih. Untuk menyingkikan gulma sekarang muncul terobosan baru dengan pestisida yang tidak hanya menghilangkan peran kaum perempuan yang dulunya bertugas untuk itu, tapi juga merubah system rantai makanan. Perempuan kini terpaksa hanya berdiam dirumah mengerjakan pekerjaan rumah dan menanti para suami pulang dengan membawa hasil. Yang lama-kelamaan menimbulkan adanya hierarki antara perempuan dan laki-laki. Dimana keadaan ini membuat para perempuan yang dulunya aktif dalam proses pertanian menjadi ketergantungan dengan kaum laki-laki.
Bentuk lain dari marginalisasi perempuan adalah hukum yang ada di Indonesia dibuat dalam perspektif patriarki dan dengan demikian lebih melindungi laki-laki daripada perempuan. Bahkan hukum-hukum seperti seperti ini justru membenarkan hierarki antara laki-laki dan perempuan, termasuk berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan itu sendiri. Sebut saja UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat 3: “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Kemudian dalam Pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa suami wajib mencari uang demi kelangsungan perekonomian rumah tangganya:“suami wajib… memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Sedangkan Pasal 34 ayat 2 mengatur kewajiban isteri untuk mengurus rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberi kesempatan kepada isteri untuk mencapai kemandirian ekonomis. Bila kemandirian ekonomis saja tidak tercapai, maka dapat diragukan pula isteri akan memiliki kemandirian psikologis dan politis dari suaminya. Dan sekali lagi sistem hukum pun membuat isteri (kaum perempuan) menjadi sangat tergantung pada suaminya (kaum laki-laki).
********
Perempuan bukanlah bagian dari masyarakat terbuang dan bukan pula kaum tanpa eksistensi dan tak berarti. Bagaimanapun juga kehadiran perempuan memberikan warna tersendiri di tengah dominasi kaum laki-laki dan hegemoni melalui negara dan agama yang melegalkan diskriminasi gender terhadap kaum perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan menghadapi ketertindasan akibat hidup dalam tatanan patriarkhi bahkan sampai hari inipun masih banyak ditemukan kasus yang korbannya rata-rata perempuan. Namun tidak bisa dipungkiri jika sejarah juga menorehkan catatan penting tentang perjuangan kaum perempuan melawan ketertindasan. Masih teringat ketika para aktivis sosialis utopis mencetuskan feminisme generasi pertama hingga membuat seorang Mary Wollstonecraft di tahun 1792 berhasil membuat sebuah karya berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) oleh yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Bukankah bisa dilihat betapa dia bisa memiliki pemikiran bahwa perempuan secara alam tidak lebih rendah dibanding laki-laki, tetapi justru melihat mereka hanya memiliki lebih sedikit pendidikan. Dewasa ini ketika kesempatan bagi perempuan untuk menikmati pendidikan sama dengan kesempatan yang dimiliki laki-laki, namun tetap saja ada penilian bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki. Mungkin saja hal ini tidak hanya melulu urusan tingkat pendidikan tapi juga bagian dari psikologis tidak hanya kaum laki-laki namun juga perempuan yang di alam bawah sadarnya masih terdapat pemikiran-pemikiran konservatif mengenai bagaimana menjadi “pelayan” yang baik bagi laki-laki.
Dalam sebuah komunitas bernama Taman 65, aku menemukan perempuan-perempuan “perkasa” yang mencoba mendobrak pandangan-pandangan konservatif bahwa perempuan harus selalu di bawah laki-laki dan mengayomi laki-laki, bukan pula feminisme radikal yang anti terhadap laki-laki melainkan mencoba membuat laki-laki agar mau mengerti keadaan perempuan dan memberikan hak kepada perempuan untuk memutuskan serta dan mencoba mengadakan penyegaran bahwa perempuan adalah personhood–manusia secara utuh, bukan “mainan atau lonceng laki-laki” atau sekadar alat/instrumen untuk kebahagiaan dan kesempurnaan orang lain, seperti yang juga coba dituliskan oleh Mary Wollstonecraft.
Aku cukup menyadari untuk mengkaji perempuan tidaklah bisa dilihat dari satu sudut pandang mengingat keadaan geografis, sosial dan budaya yang majemuk. Namun seperti para feminism radikal meyakini bahwa setiap individu memiliki hak untuk bertanya how ought I to live and how ought I to know what’s right and what’s wrong? Bahwa setiap manusia berhak untuk menentukan bagaimana dia harus hidup dan bagaiamana dia menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi kehidupannya sendiri.
Begitu juga aku melihat perempuan-perempuan “perkasa” ini dalam lingkup Taman 65. Mereka sedikit tidaknya telah berhasil melakukan penyegaran ditengah pandangan skeptik para laki-laki yang juga ada dalam lingkup sama. Aku hanya ingin meminjam beberapa bait tulisan Emma Goldman: “The higher mental development of woman, the less possible it is for her to meet a congenial male who will see in her, not only sex, but also the human being, the friend, the comrade and strong individuality, who cannot and ought not lose a single trait of her character.”