Sunday, November 6, 2011

Penerapan CSR Terhadap Hotel Berbentuk PT di Bali

CSR merupakan sebuah konsep yang sampai hari ini masih menjadi bahan pembicaraan di kalangan akademis maupun di dunia bisnis. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan pandangan antara para penganut teori ekonomi klasik sebangsa Adam Smith yang berpandangan bahwa perusahaan semata-mata hanya bertugas untuk mencari keuntungan. pendapat ini juga diperkuat oleh Milton Friedman, bapak dari neo-liberalisme. Pada tahun 1962, Milton Friedman dalam bukunya yang berjudul: Capitalism and Freedom dan salah satu tulisannya dalam The New York Times Magazine (September 1970) pada intinya berpendapat, bahwa satu-satunya tujuan dari social responsibility perusahaan adalah memaksimalkan pendapatan dan kekayaan perusahaan bagi para pemegang sahamnya. Berawal dari pendapat Friedman inilah akhirnya banyak perusahaan yang bersikap anti sosial dan dalam banyak hal melakukan praktik yang eksploitatif terhadap pekerja dan lingkungan hidup dengan tujuan semata-mata untuk mengakumulasikan keuntungan dan menyebabkan terjadinya praktik pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Hal ini tentunya menimbulkan respon dari para penganut teori ekonomi modern sebangsa John Elkington yang muncul dengan Triple Bottom Line Theory nya, bahwa perusahaan di dalam menjalankan kegiatan usahanya selain bertujuan mencari keuntungan, juga harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu masyarakat dan lingkungan sekitarnya yang dikenal dengan "3P" (Profit, People and Planet).

Pembahasan menganai CSR pun tidak berhenti sampai disana. Hal ini bisa dilihat dari konferensi-konferensi Internasional yang mulai membahas dan coba menyempurnakan konsep CSR itu sendiri. Dimulai dari dekade 1980 - 1990 dengan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, kemudian berlanjut tahun 2002 dengan pertemuan internasional di Johannesburg yang memunculkan konsep social responsibility untuk melengkapi dua konsep sebelumnya mengenai economic growth dan environmental sustainability. Kemudian di tahun 2007 sebuah pertemuan internasional yang diadakan di Jenewa dengan tema UN Global Compact berusaha menyempurnakan konsep sebelumnya menjadi sebuah konsep yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility

Selanjutnya bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia sendiri konsep mengenai CSR ini diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Namun jika kita perhatikan secara seksama, terdapat perbedaan prinsip yang diatur dalam kedua UU ini. Sebut saja UUPM dalam penjelasan Pasal 15 disebutkan: "Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat". Tanggung jawab dalam hal ini bermakna bahwa perusahaan secara sadar maupun tidak terikat dan harus melaksanakan CSR. sedangkan pada penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPT disebutkan: "Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya". Komitmen perseroan setidaknya membutuhkan kesadaran terlebih dahulu dari perusahaan untuk melaksanakan CSR. Maka tidak heran jika sampai hari ini CSR ini masih menjadi sebuah perdebatan di kalangan dunia usaha untuk menjalankannya walaupun tidak sedikit juga perusahaan yang mulai melaksanakannya karena merasa CSR memang penting karena terkait dengan image perusahaan di masyarakat.

Bagaimana dengan sektor pariwisata khususnya perhotelan? Perkembangan konsep ini di sektor pariwisata tidak berjalan sepesat di sektor bisnis yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, misalnya pertambangan. Bidang jasa perhotelan jika dilihat dalam penjelasan Pasal 74 UUPT bukan sebagai kegiatan usaha yang memanfaatkan sumber daya alam namun dapat ditafsirkan sebagai kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Hal ini seakan-akan membuat hotel menjadi tidak terlalu urgent untuk melaksanakan CSR. Jika perusahaan pertambangan jelas harus melaksanakan CSR karena mereka menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas untuk diperjual belikan. Namun bagaimana dengan hotel? memang hotel tidak menggunakan sumber daya alam untuk komoditas. Namun pernahkah kita sadari bahwa hotel menggunakan air di dalam menjalankan usahanya. Walaupun air hanya digunakan sebagai pelengkap pelayanan (leisure) bagi para tamu yang menginap.

Di Bali misalnya, cukup jarang ditemukan perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Namun Bali sebagai tujuan pariwisata mendorong semakin banyaknya investasi untuk pembangunan sarana penunjang pariwisata dalam bentuk hotel, lapangan golf, resort dan sebagainya. Jika ditelaah lebih jauh, kegiatan usaha yang memerlukan pasokan air bersih dalam jumlah besar tersebut berdampak pada pasokan sumber daya alam (air) bagi masyarakat lokal, dan perubahan fungsi lingkungan hidup misalnya alih fungsi hutan atau lahan produktif untuk hotel atau villa.

Sebagaimana disampaikan oleh Agung Wardana dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Bali, hotel yang memiliki kolam renang dan lapangan golf di Bali memerlukan sedikitnya 3 juta liter air per hari sedangkan sebuah keluarga dalam satu rumah di Bali hanya memerlukan sedikitnya 200 liter air per hari, dan kamar hotel membutuhkan 2000 liter per hari per kamar.[1] Belum lagi pengembangan pariwisata mewah di Bali telah mengakibatkan kenaikan pajak yang cukup tinggi dan memaksa petani untuk menjual tanah mereka hingga 1000 hektar.[2] Lahan pertanian produktif di konversi ke tujuan non-pertanian termasuk hotel dan lapangan golf setiap tahunnya.[3]

Menurut laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup, Bali sejak tahun 1995 telah mengalami defisist air sebanyak 1,5 milyar m3 per tahun. Defisit tersebut terus meningkat di tahun 2000 hingga 7,5 milyar m3 per tahun[4], dan pada tahun 2015 mendatang, Bali diperkirakan akan mengalami defisit air sebanyak 27,6 milyar m3 per tahun.[5]

Meski Pasal 74 UUPT mewajibkan setiap perusahaan untuk melaksanakan CSR, secara umum hotel-hotel menafsirkan belum ada kewajiban untuk melaksanakan CSR sampai adanya prosedur dan kriteria CSR yang jelas dan mengikat secara hukum karena seperti yang kita ketahui UUPT belum memberikan kriteria yang tegas mengenai CSR di bidang jasa perhotelan sebagai kegiatan yang berdampak pada fungsi kelangsungan sumber daya alam. Pengelolaan CSR sendiri di bidang jasa perhotelan masih berada di bawah Human Resource Department. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada kebutuhan untuk membentuk unit khusus yang menangani CSR meskipun beberapa hotel menganggap bahwa CSR telah menjadi nilai dasar dalam operasional bisnis mereka dan telah melaksanakannya secara sukarela jauh sebelum UUPT mengaturnya walaupun dengan sebutan berbeda.

Sebagai sebuah kegiatan yang berdampak pada fungsi sumber daya alam, menurut UUPT, CSR dapat dikatakan wajib dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan. Namun UUPT tidak menyebutkan dengan tegas akibat hukum yang timbul apabila sebuah hotel tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatas. UUPT hanya merujuk pada peraturan yang terkait dengan bidang usaha dari perusahaan dimaksud. Secara lex specialis, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan merupakan peraturan terkait dengan usaha perhotelan dan UU ini mewajibkan pelaku usaha pariwisata untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (pasal 26). Adapun bagi pelaku usaha pariwisata yang tidak melakukannya akan dapat berakibat pada penjatuhan sanksi administratif mulai dari teguran hingga penghentian sementara kegiatan usaha (pasal 63). Namun tidak dirinci lebih jauh mengenai prosedur dan kriteria penjatuhan sanksi tersebut dan institusi mana yang memiliki kewenangan untuk itu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa belum adanya kejelasan kriteria mengenai bentuk-bentuk usaha yang wajib melaksanakan CSR dalam UUPT dan kewajiban untuk melaksanakan CSR dalam Pasal 74  UUPT tidak memiliki akibat hukum yang jelas bagi kegiatan usaha khususnya perhotelan karena UUPT hanya merujuk pada ketentuan terkait dan belum tersedianya PP. Oleh karena itu perlu adanya kesatuan pengaturan yang jelas terkait mengenai CSR agar kewajiban dan hak dari pelaku usaha terhadap stakeholder terperinci dengan jelas. Kemudia untuk menciptakan kepastian hukum, perlu disusun Peraturan Pemerintah yang mengatur kriteria tata cara penilaian tentang pelaksanaan CSR hingga prosedur penjatuhan sanksi akibat dari adanya pelanggaran terhadap kewajiban (compliance mechanism) selain diadakannya optimalisasi institusi pemerintah yang telah ada dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan CSR.


[1]  http://www.tourismconcern.org.uk/golf.html, di akses pada Tanggal 24 Oktober 2011.
[2]  Ibid.
[3]  Ibid.
                [4]   http://www.inwater.com/news/wmview.php?ArtID=900
            [5]   Ibid

No comments:

Post a Comment